79 Tahun Indonesia Merdeka | Sulit Menemukan Keadilan Di Negara Hukum, Air Mata Rakyat Masih Tumpah di Negeri Sendiri
Jakarta, satunusantaranews.co.id – Indonesia merdeka sudah lebih dari 79 tahun. Namun, apakah semua warga negara sudah benar-benar merasakan arti kemerdekaan itu? Bagi sebagian orang, kemerdekaan hanyalah ilusi. Seperti yang dirasakan oleh Andri Tedjadharma. Sejak Bank Centris miliknya dibekukan oleh pemerintah pada 4 April 1998, hidupnya berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan.
Andri telah kehilangan banyak hal. Tanahnya di Bali dan Bandung disita, vila tempat keluarganya beristirahat di Bogor dirampas, ruko di Jakarta yang merupakan sumber penghasilan turut disita. Kini, rumah yang menjadi tempat berlindungnya di bilangan Meruya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, terancam akan disita juga. Pemerintah berencana untuk menyita rumah itu pada 27 Agustus mendatang.
Air Mata di Rumah Sendiri
Ancaman ini semakin nyata setelah tiga orang dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) mendatangi kompleks perumahan Intercon pada 21 Agustus lalu. Mereka memberi tahu ketua RT dan RW setempat tentang rencana penyitaan tersebut. Andri dan keluarganya merasa terpojok di rumah sendiri, tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman, kini menjadi sumber ketakutan dan kecemasan yang mendalam.
"Bayangkan, rumah ini adalah satu-satunya tempat yang tersisa untuk kami," ucap Andri dengan suara bergetar. "Kami sudah kehilangan segalanya. Apakah ini yang dimaksud dengan kemerdekaan? Apakah kami harus terus berjuang hanya untuk mempertahankan atap di atas kepala kami?"
Perlawanan yang Penuh Air Mata
Andri Tedjadharma tidak tinggal diam. Meski hatinya hancur, ia bertekad untuk melawan. Namun, perlawanan ini bukan tanpa rasa sakit. Setiap langkah yang ia ambil adalah pengingat bahwa negara yang seharusnya melindungi warganya kini berbalik menyerang.
"Pemerintah itu manusia, bisa salah. Dan mereka telah melakukan banyak kesalahan," ujar Andri dengan air mata yang menetes. "Tapi mengapa kesalahan mereka harus kami yang menanggungnya? Mengapa keluarga saya harus kehilangan semua yang kami miliki?"
Kisah Panjang Ketidakadilan
Sejak awal, Andri yakin bahwa pemerintah telah bertindak sewenang-wenang. Bank Centris bukanlah obligor BLBI, ini terbukti dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2000 yang menolak gugatan BPPN, dan dikuatkan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Bahkan Mahkamah Agung menyatakan tidak ada permohonan kasasi dari BPPN. "Jadi, apa lagi yang mereka inginkan dari saya? Apakah mereka ingin saya menyerah? Saya tidak akan mundur, tapi apakah ini adil?" ucap Andri, suaranya parau menahan tangis.
Akta 46 & 47: Saksi Bisunya Ketidakadilan
Meski pemerintah berkeras dengan salinan putusan kasasi yang tidak terdaftar di Mahkamah Agung, akta yang Andri miliki jelas menunjukkan bahwa ia tidak bersalah. "Amar putusan malah dengan jelas menyatakan Akta 46 & 47 sah dan berharga," kata Andri sambil memegang dokumen itu erat-erat, seolah dokumen tersebut adalah satu-satunya harapan terakhirnya.
Akta 46 adalah perjanjian yang seharusnya melindungi hak-hak Bank Centris. Akta ini berisi harta Bank Centris senilai Rp 492 miliar yang dijamin lahan seluas 452 hektar. Tetapi semua itu seakan tidak berarti ketika pemerintah mengabaikan hukum dan keadilan.
Bank Indonesia bahkan tidak membayarkan promes nasabah yang seharusnya dialihkan ke rekening Bank Centris Internasional (BCI). Sebaliknya, uang itu diselewengkan ke rekening lain, memanfaatkan sistem perbankan yang seharusnya transparan. "Semua ini terbongkar di pengadilan, tetapi apa artinya hukum jika pemerintah sendiri yang menginjak-injaknya?" tutur Andri, matanya berkaca-kaca, penuh dengan kesedihan yang mendalam.
Harapan yang Tersisa
Andri Tedjadharma berjuang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua rakyat Indonesia yang merasakan ketidakadilan. Di usia 79 tahun kemerdekaan Indonesia, Andri berharap bahwa rakyat kecil sepertinya bisa merasakan arti kebebasan yang sesungguhnya, tanpa harus hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan kehilangan.
"Saya tidak ingin mengasihani diri sendiri. Saya hanya ingin keadilan. Bukan hanya untuk saya, tetapi untuk semua orang yang mungkin sedang berjuang seperti saya," ucap Andri, dengan suara yang bergetar. Dalam peringatan kemerdekaan ini, Andri mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati haruslah dirasakan oleh setiap warga negara, tanpa terkecuali. Dan ketika pemerintah melupakan tanggung jawabnya, air mata rakyat lah yang akan menjadi saksi bisu dari perjuangan panjang menuju keadilan.
Komentar