Akar Kekerasan di Papua Adalah Pertarungan Kuasa
satunusantaranews, Papua - Diketahui pada Sabtu, 9 Januari 2021, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) membakar 2 (dua) Base Transceiver Station (BTS) milik Telkom, yaitu BTS 4 di Distrik Omukia dan BTS 5 di Distrik Mabuggi Kabupaten Puncak Jaya. Adapun peristiwa ini terungkap setelah pihak Palapa Ring Timur melakukan pengecekan menggunakan Helikopter karena kedua BTS tidak memancarkan sinyal.
Peristiwa semacam ini sudah menjadi “ritual” yang terjadi setiap masa. Bila bukan infrastruktur, maka manusia yang menjadi korban. Kekerasan terhadap ruang publik, baik terhadap manusia maupun benda masih menjadi tontonan yang terus berulang, menjadi viral, dan melahirkan banalitas kekerasan.
Pemandangan kekerasan akhirnya menjadi biasa, dan generasi Orang Papua terlahir dalam ruang-ruang kekerasan. Dan kekerasan yang dipertontonkan di ruang publik tersebut, berimplikasi pada bertemunya berbagai politik kekuasaan, setidaknya antara Pemerintah Indonesia dan KKB, ungkap Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum, Anggota DPD RI Provinsi Papua Barat.
Pertarungan kekuasan itu celakanya mengorbankan rakyat kecil, rakyat sipil yang tidak berdaya. Atas peristiwa spiral kekerasan, anggota DPD RI Papua Barat memberikan tanggapan kritis. Menurutnya, konflik berkepanjangan antara KKB dan TNI seperti tak menemui penyelesaian.
“Coba kita lihat rentang waktunya, sudah berapa lama KKB ini terus eksis? Sangat lama. Negara hampir tiap tahun menurunkan pasukan. Bukannya tambah aman, malah tambah parah.” Ucap Filep Wamafma.
Filep Wamafma mempertanyakan eksistensi para TNI yang jumlahnya ribuan di Papua namun kekerasan tak kunjung berkurang. Apalagi menurutnya, oknum TNI yang juga pernah berbuat salah tembak terhadap warga sipil semakin mengekalkan tindakan kekerasan di Papua.
“Pertanyaan mendasar ialah, apakah ada keseriusan dari kedua belah pihak, KKB dan Pemerintah Indonesia, untuk mengakhiri banalitas kekerasan ini? Dari dulu, rezim berganti rezim, perjuangan dan aspirasi mengenai diadakannya dialog, selalu berakhir nihil. Apakah pendekatan pembangunan infrastruktur yang dibarengi dengan penurunan sejumlah militer sudah mampu menyelesaikan persoalan?” tanya Filep.
Peristiwa pembakaran BTS menurut Wamafma adalah warning agar semua pihak berupaya memperhatikan akar persoalan, sehingga mencari solusi bukan saat masalah sudah terjadi.
“Kekerasan, atas nama apapun, harus ditentang oleh semua pihak. Pada tataran yang sama, dialog, atas nama kedamaian Papua, harus segera dilakukan. Fasilitas publik dalam ruang publik pun tidak boleh dijadikan bagian dari kekerasan itu sendiri, baik sebagai sarana maupun objek kekerasan.” Ungkap senator yang akrab dipanggil Pace Jas Merah ini.
Ia mengajak semua pihak untuk menanggalkan kepentingan pribadi demi kedamaian Papua, menanggalkan ego sektarianisme, menjadikan nilai kemanusiaan semata-mata sebagai pegangan Bersama.
“Apakah kekerasan dapat dilawan? Pasti bisa, semuanya harus dimulai dengan niat bahwa Papua bisa damai bila semua pertarungan kuasa di ruang publik itu dihentikkan.” Tutupnya.
Komentar