Beberkan Permasalahan Undang-Undang SP3K

satunusantaranews, Jakarta - Komite II DPD RI akan mengajukan usul inisiatif Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K). Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah dihimpun oleh Komite II DPD RI, terdapat beberapa permasalahan terkait dengan UU tersebut.

Wakil Ketua Komite II DPD RI Abdullah Puteh menjelaskan UU SP3K terdapat poin penting mengenai perlunya membangun kelembagaan penyuluhan di daerah. Namun, hal tersebut dinilai tidak sejalan dengan lahirnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).

“UU Pemda justru tidak memperkenankan adanya Badan Koordinasi Penyuluhan dalam satuan kerja pemda,” ucapnya saat Rapat Dengar Pendapat dalam rangka Pembahasan RUU inisiatif tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan di Gedung DPD RI, Jakarta (15/3).

Senator asal Aceh itu menambahkan bahwa dalam UU Pemda, penyuluhan perikanan dikembalikan ke pusat, sementara penyuluhan kehutanan ke provinsi. “Selain itu penyuluhan pertanian menjadi tanggung jawab semua level secara konkurensi,” tuturnya..

Sementara itu, Wakil Ketua Komite II DPD RI Bustami Zainudin menilai penyuluhan pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan keniscayaan. Menurutnya ada 80 ribu lebih desa di Indonesia, maka setidaknya satu orang per desa bisa menjadi penyuluh dengan biaya dari dana desa. “Jika satu orang untuk satu desa seharusnya bisa menggunakan dana desa. Tidak besar biayanya,” sarannya.

Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komite II DPD RI Hasan Basri menjelaskan kekurangan penyuluh memang menjadi ‘PR’ bersama. Apalagi saat ini jumlah penyuluh sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah petani. Akibatnya tingkat produktivitas tidak maksimal, sehingga kebijakan impor bahan pangan sering dilakukan. Dan hal tersebut diperparah dengan dicabutnya perpres penyuluh. “Kita mau mengubah UU SP3K namun pemerintah mencabut perpresnya. Selain itu, UU Pemda juga harus direvisi. Jika tidak, sama saja,” jelas dia.

Anggota DPD RI asal Jawa Tengah Denty Eka Widi Pratiwi mengatakan kondisi penyuluh di Jawa Tengah kebanyakan dari swadaya. Ia juga menjelaskan saat berdialog dengan penyuluh memang dibutuhkan petani milenial. “Kita itu sangat menanti-nanti petani milenial. Memang kita harus menjawab tantangan pada masa era revolusi industri 4.0 ini yaitu dengan petani milenial,” paparnya.

Selain itu, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi Hardijanto menjelaskan kendala dan tantangan pasca UU Pemda yaitu singkronisasi dan sinergitas penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan tidak berjalan baik. “Selain itu kualitas dan kuantitas penyuluh perikanan profesional kurang memadai,” ujarnya.

Komite II juga melakukan rapat dengan tema yang sama dengan narasumber dari akademisi di siang harinya. Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB Sumardjo yang hadir dalam rapat tersebut, menilai kelembagaan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) perlu dikuatkan melalui komitmen anggaran dan dukungan infrastruktur pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Ia juga mendorong adanya penguatan integrasi dan sinergitas penyuluhan di tingkat BPP untuk berfungsi secara lintas sektor.

“Idealnya semua penyuluh itu di BPP, pertanian atau peternakan, sehingga bisa berbagi informasi. BPP juga difungsikan sebagai center of excellence bagi inovasi berkelanjutan di wilayah kerja,” ucapnya.

Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia Mulyono Machmur mengatakan jika paradigma baru penyuluh pertanian harus berupa jasa informasi, lokalita, berorientasi agribisnis, pendekatan kelompok, fokus kepentingan petani, pendekatan humanisti-egaliter, profesional, akuntabel, dan memuaskan petani. “Yang masih sangat jauh itu memuaskan petani. Kalau penyuluh di bawah dinas, hanya merintah-merintah dan mengamankan program dari dinas,” jelasnya.

Penulis: Gharib
Editor: Bambang P

Baca Juga