85 Tahun B.J. Habibie: Janganlah Pemerintah Membajak Demokrasi Untuk Kekuasaan
satunusantaranews, Jakarta - Dalam webinar peringatan 85 tahun B.J. Habibie, yang diselenggarakan LP3ES, Politisi senior, Amien Rais, mengungkapkan fenomena global yang disebut democratic back sliding menuju otoriter. Begitu pula, sebelumnya Jimly Asshiddiqie menyebut fenomena tersebut dengan istilah pembajakan demokrasi.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Mulyanto, mensinyalir Pemerintah memanfaatkan momen wabah pandemi virus Corona (Covid- 19) untuk memperkuat kekuasaan. Dimana Pemerintah, acap kali berdalih untuk menanggulangi pandemi Covid 19 dalam menyusun berbagai peraturan dengan mereduksi peran DPR RI.
Mulyanto yang juga anggota Badan Legislasi DPR RI tersebut menilai Pemerintah pimpinan Jokowi harus selalu diingatkan untuk kembali menghormati nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan negara. Jangan sampai Pemerintah membajak demokrasi untuk memperbesar kekuasaan.
“Kita merasakan pembajakan itu faktual. Secara umum, saya setuju dengan pandangan Pak Amin Rais tentang democratic back sliding saat Pandemi Covid-19 ini,” ujar Mulyanto (30/6).
Anggota Komisi VII DPR RI ini menyebut ada beberapa kasus yang dapat dijadikan contoh. Pertama dalam kasus Perppu No: 1/2020 tentang Covid-19 yang kemudian disahkan menjadi UU No: 2/2020. Dalam Perppu itu Pemerintah secara nyata mereduksi peran DPR terutama dalam fungsi anggaran. Alokasi prioritas anggaran, sesuai konstitusi, yang semula dilaksanakan DPR dengan UU, diubah menjadi kewenangan eksekutif.
Baca Juga: Kritik Bentuk Ekspresi di Negara Demokrasi
Kedua dalam kasus UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Atas nama penanggulangan ekonomi dampak wabah pandemi Covid-19, pembahasan RUU ngebut tidak kenal waktu libur dan waktu reses. Meski pembahasan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan tapi pelaksanaan rapat menjadi tidak maksimal dan penuh keterbatasan, ungkapnya.
Sekarang muncul wacana Presiden 3 periode, yang menentang konstitusi. Sementara terkait vaksinasi, Pemerintah menjalankannya dengan pendekatan kekuasaan. Dimana sanksi administratif dan denda menjadi alat pemaksa warga untuk itu vaksinasi, ketimbang pendekatan edukasi yang persuasif.
Pemerintah juga berencana membubarkan BATAN dan LAPAN, dua lembaga yang dibentuk masing-masing berdasarkan UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran dan UU No. 21/2013 tentang Keantariksaan. Peleburan kedua LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian Ristek) ini hanya dengan secarik Peraturan Presiden (Perpres), tanpa perubahan UU terkait. Padahal hal tersebut tidak ada urgensinya terkait dengan penanganan pandemi Covid-19.
Hal seperti ini, kata Mulyanto, harus disudahi. “Mari kita tanggulangi musibah Covid-19 ini dengan akal sehat, scientific based, tidak grasak-grusuk. Berbagai kebaikan yang sudah ada di negeri ini, termasuk anugerah demokrasi, kita jaga dan kita rawat,” tandas Mulyanto.
Untuk diketahui, Indeks demokrasi Indonesia turun dan menempati posisi terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. The Economist Intelligence Unit (EIU) baru saja merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020. Dalam laporan tersebut menunjukkan Norwegia meraih skor tertinggi yakni 9,81 dan menjadikannya negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia.
Sementara, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48.
Komentar