Peringati Hari Batik Nasional Dengan Penutup Kepala ‘Tengkuluk’
satunusantaranews, Depok – Bangsa Indonesia telah mengenal penutup kepala sejak berabad lampau. Penutup kepala bagi laki-laki dan perempuan yang dikenakan dalam keseharian hingga menjadi identitas tradisional dan kehormatan. Terutama bagi perempuan, penutup kepala dalam kebudayaan masyarakat Nusantara memiliki ragam bentuk dan nama serta cara pemakaiannya.
Kerudung, kudung, tudung, tengkuluk, kuluk, tingkuluak, saong, bulang, passapu, tukus dan jong adalah nama-nama penutup kepala perempuan di sini.
“Tengkuluk ini, misalnya, sudah ada sejak zaman kerajaan Melayu,” kata Nurlaini, penulis buku Kuluk Penutup Kepala Warisan Luhur dari Jambi, dalam acara ‘Ngopi Tengkuluk, Mengenal Penutup Kepala Perempuan Indonesia’ di Olpop Coffee, Cinangka, Depok, Minggu, 26 September 2021.
Nurlaini menjelaskan, sejak abad ketujuh para perempuan Jambi sudah mengenakan penutup kepala tradisional yang dikenal dengan nama tengkuluk, sering juga disebut takuluk atau kuluk. Tengkuluk berkembang di lingkungan suku Melayu di Kota Jambi dan Pantai Timur Sumatra.
Pada masa lampau tengkuluk digunakan perempuan Jambi untuk menutup kepala ketika menghadiri acara adat dan kegiatan sehari-hari seperti ke sawah. Tengkuluk juga lambang kesahajaan perempuan. Hanya dengan dililitkan di kepala tanpa jahitan, perempuan tampil rapi dan bersahaja.
“Tengkuluk itu menunjukkan kerapian seorang perempuan," dia menjelaskan.
Dalam mengenakan tengkuluk perempuan Jambi menjuntaikan kain penutup itu ke dua arah yang berbeda.
“Kalau ujung kainnya jatuh di sebelah kiri tandanya masih lajang. Kalau menjuntai ke sisi kanan berarti sudah menikah. Jadi dalam satu acara, dari cara pakai tengkuluk saja sudah ketahuan identitasnya,” papar Nurlaini.
Dalam budaya Minangkabau, penutup kepala disebut ‘tikuluak’ atau ‘tingkuluak’ dengan beragam bentuk dan gaya penggunaan sesuai daerahnya. Bukan hanya sebagai busana, di ranah Minang ada makna kuasa perempuan yang disampaikan secara simbolis dari penutup kepala mereka.
Perempuan adat Simalungun di Sumatera Utara mengenal penutup kepala dengan nama Bulang—yang terbagi menjadi beberapa jenis dan dibedakan dengan cara melipatnya. Di Simalungun penutup kepala hanya digunakan oleh perempuan yang sudah menikah.
Daerah-daerah lain juga memiliki penutup kepala seperti ‘Tukus’ di masyarakat Lampung, Passapu di suku Toraja Mamasa, ‘Tudung’ di suku Karo, ‘Saong’ di suku Batak Toba, ‘Tatupung’ di suku Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah, ‘Jong Bayan’ di masyarakat adat Bayan Lombok Utara, hingga penutup kepala tradisional yang lazim dikenakan perempuan Jawa dan Sunda di masa lalu.
Sayangnya, tren politik membuat penutup kepala yang beraneka itu cenderung dicitrakan sebagai pakaian yang melanggar tata cara beragama—atau paling sedikit tidak sesuai dengan tuntutan agama. Akibatnya, berbagai penutup kepala perempuan yang khas itu perlahan-lahan tergerus dan tidak dikenali oleh generasi terkini.
Atas dasar itulah puluhan perempuan dari lintas komunitas tampil dengan aneka busana daerah seperti Kebaya, Baju Bodo, Songket, Tenun, Batik berikut penutup kepalanya yang serbaneka pada Minggu, 26 September 2021. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya melestarikan budaya Nusantara sekaligus merayakan Hari Batik Nasional, yang diperingati tiap 2 Oktober.
Nury Sybli, penggagas acara, menjelaskan kegiatan tersebut bertujuan mengajak para perempuan untuk mengenal keragaman tutup kepala yang diwariskan leluhur.
“Hampir semua daerah di Indonesia memiliki model tutup kepala dengan makna dan filosofi yang indah. Yang saya pelajari, perempuan Indonesia dulu memakai penutup kepala itu karena mau bekerja seperti pergi kebun atau mencuci pakaian, membantu masyarakat atau pergi ke pesta bahkan ke pemakaman. Jadi bukan untuk mencari pahala atau karena aturan agama tertentu,” ucap perempuan yang juga salah satu periset buku Tenunku: Warna-warna Benang Warisan Nusantara.
Pada acara Ngopi Tengkuluk Nury memakai tenun sikka, dipadu dengan baju adat sasak dan memakai tutup kepala tengkuluk dari batik Jambi motif bungo tanjung.
“Saya hanya ingin mengenalkan mahakarya nenek moyang. Jiwa seni mereka tidak bisa diduplikasi dengan mudah. Baju lambung dari Suku Sasak, misalnya, bermakna kasih sayang pada sesama yang harus dimiliki semua orang. Batik khas Jambi motif bungo tanjung justru mengandung pesan bagi pemakainya agar menjadi pemimpin yang arif, bijaksana, pula dapat dipercaya. Demikian juga pada tenun, proses pembikinannya dilakukan dengan penuh rasa dan cinta. Ringkasnya, karya nenek moyang kita itu hebat sekali,” paparnya.
Pesan lain yang ingin disampaikan oleh acara ini adalah ajakan untuk menghargai dan merawat keragaman.
“Saya mengajak seluruh perempuan di mana saja agar lebih mengenali Indonesia, tanah air yang ditakdirkan memiliki banyak keragaman, ” ujar Nury.
Jangan lupa, sambung Nury, perempuan adalah aktor utama pelestarian tradisi, di belahan bumi mana pun. “Songket, tenun, batik, kebaya, dan rupa-rupa penutup kepala dengan makna dan filosofinya itu siapa yang menciptakan? Perempuan. Maka para perempuan hendaknya menjadi penjaga tradisi itu, bukan meninggalkan,“ katanya.
Sejauh ini Nury sebagai pegiat literasi cukup khawatir pada cakrawala pengetahuan anak-anak perihal budaya ibu kandungnya.
“Yang mereka lihat sehari-hari itulah yang mereka simpan dalam memorinya. Kalau mereka tidak pernah diperlihatkan tentang kebiasaan atau tradisi perempuan Indonesia seperti apa, jangan salahkan jika tradisi dan keberagaman itu akhirnya mati,” ungkap Nury, menutup perbincangan ‘’resmi” pada acara Ngopi Tengkuluk.
Salah seorang peserta Ngopi Tengkuluk dari kelompok Serumpun Bakung, Nisa Alwis, menyatakan kesukaannya pada acara nongkrong bareng ini.
“Ini menurutku mencerahkan. Ternyata kerudung kita itu lucu-lucu dan kaya. Semoga acara macam ini makin sering, biar kita jadi paham bahwa kreasi orang-orang dulu itu keren dan mestinya kita melestarikan itu,” tuturnya.
Ngopi Tengkuluk diikuti komunitas yang tergabung di Serumpun Bakung, Blackhouse Library, Chattra Kebaya, Beyond, Pertiwi Indonesia, Chatra Kebaya, Sanggar Tari SBM dan Gemah (TMII), Yayasan Dilts, Pondok Belajar PUAN, dan Komunitas Perempuan Sehati Indonesia.
Komentar