Dua Tahun Jokowi-Ma’ruf Belum Berhasil Bangun Bidang Energi yang Baik
satunusantaranews, Jakarta - Dua tahun masa kerja Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, menurut Anggota DPR RI Mulyanto, masih belum berhasil membangun bidang energi dengan baik. Dan hingga kini bidang energi nasional masih terpuruk dan belum menunjukan tanda-tanda yang menggembirakan.
“Prestasi bidang energi masih datar-datar saja bahkan cenderung merah,” kata Mulyanto.
Seperti di sektor migas, baik impor, lifting maupun pembangunan kilang baru masih jeblok. Impor migas nasional, terutama BBM dan LPG, bukannya menurun malah terus melonjak. Akibatnya defisit transaksi berjalan membengkak. Pemerintah seperti tidak punya strategi yang konsisten untuk menurunkan impor migas ini, ujar Mulyanto.
Data BPS menunjukan pada Mei 2021, lonjakan impor migas menjadi sebesar USD 2.06 milyar. Bila dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun 2020 (y-on-y) meningkat sebesar 212 persen. Defisit transaksi berjalan untuk sektor migas ini sebesar USD 1.12 milyar meningkat sebesar 1020 persen dibandingkan tahun 2020 (y-on-y). Meroket lebih dari sepuluh kali lipat.
Defisit transaksi berjalan sektor migas untuk tahun 2021 diperkirakan meningkat menjadi sebesar 11 milyar USD. Padahal pada tahun 2019 hanya sebesar 10 milyar $ USD. Pada tahun 2020 bahkan hanya sebesar 6 milyar $ USD. Lifting minyak kita memiliki visi 1 juta bph (barel per hari) di tahun 2030. Namun anehnya, target lifting tahunan bukannya naik, malah justru terus melorot, ungkapnya.
Target lifting minyak, imbuhnya, tahun 2019, 2020, 2021 dan tahun 2022 masing-masing sebesar 775, 755, 705 dan 704 bph. Terus turun. Sementara realisasinya setiap tahun selalu di bawah target. Karena penggunaan BBM terus naik, maka otomatis impor migas tetap membengkak. Alhasil devisa negara terkuras, papar Anggota Komisi VII DPR RI ini.
Di sisi lain, lanjut Mulyanto, kemampuan kilang untuk mengolah BBM secara domestik masih lemah. Hampir 25 tahun sejak pengoperasian RU VII Kasim di Papua pada tahun 1997, tidak ada lagi pembangunan kilang baru.
Pembangunan kilang Bontang tidak jelas juntrungannya. Kilang Tuban, Jawa Timur, masih pada tahap pembebasan lahan. Padahal sudah dimulai sejak tahun 2017.
Dari total 6 buah kilang yang ada, Pertamina baru mampu menghasilkan BBM sebanyak 850 – 950 ribu bph. Setengah dari kebutuhan domestik.
Di sektor ketenagalistrikan, kata Mulyanto, kinerja Pemerintah juga masih merah. Rasio elektrifikasi nasional masih jauh di bawah seratus persen.
Dua tahun lalu ditargetkan mencapai seratus persen. Namun realisasinya terus molor. Pemerintah menargetkan kembali rasio elektrifikasi nasional seratus persen di tahun 2022.
Tapi faktanya per hari ini sedikitnya masih ada 433 desa atau setara dengan 483.012 Rumah Tangga (RT) yang belum teraliri listrik.
“Artinya, masih banyak saudara-saudara kita yang belum dapat menikmati terangnya listrik. Bahkan Indonesia perlu impor listrik dari negara tetangga. Kalimantan Barat mengimpor listrik sebesar 110 MW dari Serawak Pada tahun 2020, yang terus berlanjut di tahun 2021 ini,” ujar Mulyanto.
Namun anehnya, kata Mulyanto, di Jawa dan Sumatera terjadi surplus listrik lebih dari 30 persen. Dan program pembangunan pembangkit baru 35.000 MW yang kontroversial itupun terus berlanjut.
“Akibatnya PLN terpaksa membayar listrik yang tidak diperlukan, karena adanya klausul TOP (take or pay) dari listrik swasta. Yang pada gilirannya, keuangan PLN tertekan utang yang hampir mencapai Rp 500 triliun,” jelas Mulyanto.
Terakhir adalah kinerja sektor sumber daya mineral. Mulyanto menilai Pemerintah masih setengah hati dalam menjalankan program hilirisasi nikel.
Industri smelter hanya memproduksi nikel matte dan NPI (nickel pig iron), dengan nilai tambah yang rendah. Padahal diharapkan terjadi diversifikasi produk nikel, baik berupa stainless steel, baterai listrik, baja tahan karat, bahkan mobil listrik. Bukan sekedar bahan baku setengah jadi.
“Negara sudah banyak berkorban untuk program hilirisasi nikel ini, baik melalui pelarangan ekspor bijih nikel, di saat harga nikel internasional tinggi, maupun berupa pembebaskan pajak PPh Badan untuk industri smelter. Akibatnya, penerimaan negara dari PPh Badan industri smelter; royalti nikel, dan pajak ekspor bijih nikel menjadi nihil. Belum lagi datangnya buruh TKA (tenaga kerja asing), yang mengambil pasar tenaga kerja kita,” kata Mulyanto.
Kebijakan itu, tambah Mulyanto, dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan industri asing. Sementara hasilnya hanya produk setengah jadi yang diekspor untuk keperluan industrialisasi China.
“Melihat kinerja sektor energi yang masih merah seperti ini, menjelang rebound industri pasca pandemi Covid-19 di tahun-tahun mendatang, Mulyanto minta Pemerintah bekerja ekstra keras untuk menata diri, bila ingin ada perbaikan,” tutup Mulyanto.
Komentar