Dalam Pilpres Ada Pembagian Kelas Warga Negara, Non Parpol Digolongkan Kelas Dua

Dalam Pilpres Ada Pembagian Kelas Warga Negara, Non Parpol Digolongkan Kelas Dua
Dalam Pilpres Ada Pembagian Kelas Warga Negara, Non Parpol Digolongkan Kelas Dua

satunusantaranews, Jakarta - Terkait dua rekomendasi MPR (2009-2004 dan 2014-2019), yang salah satunya menyangkut penataan sistem presidential, Ketua Kelompok DPD RI di MPR, Tamsil Linrung saat acara kunjungan ke Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (10/12) menegaskan, dalam kaitan pemilihan kepresidenan (pilpres) seperti ada pembagian kelas dalam warga negara di  negeri ini. Warga negara yang non parpol seperti digolongkan kelas dua. Dan haknya, menurut Pasal 6A Ayat 2 itu, hanya untuk memilih, bukan dipilih. Ada kesan kuat menganak-tirikan. Diskriminatif.

“Dalam prinsip demokrasi, pembagian kelas tersebut jelaslah melanggar hak asasi manusia (HAM). Karenanya, ketentuan itu tidak adil dan melanggar konstitusi. Bahkan, bisa disebut membajak demokrasi”, tegasnya sembari menjelaskan, di sinilah perlunya perubahan Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu, minimal ketentuan presidential threshold (PT) 20% yang kini lebih memungkinkan untuk diuji.

Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945, secara eksplisit menegaskan hanya partai politik dan atau gabungan partai politik yang bisa mengajukan calon pasangan presiden. Bagaimana dengan anggota masyarakat non-partai politik (parpol) yang punya kemampuan dan ingin memberikan dedikasinya untuk bangsa dan negara?

Karena itu DPD secara kelembagaan segera mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK), sekaligus mengajak elemen masyarakat, termasuk kalangan kampus, untuk bersama-sama dan bahu-membahu melakukan perubahan yang lebih baik melalui penataan sistem presidential itu.

Perubahan PT, lanjut Tamsil Linrung menjadi krusial, agar terbuka atau dibuka kemungkinan bagi warga negara yang mumpuni atau punya kapasitas dan ingin berdedikasi untuk bangsa dan negara ini maju sebagai pasangan calon presiden-wakil presiden. Melalui perubahan PT akan muncul kemungkinan kandidat presiden dari unsur perseorangan yang mekanismenya bisa diatur kemudian. Bisa melalui konvensi yang diselenggarakan DPD, misalnya.

“Yang terpenting adalah, perubahan PT 0% atau meniadakan persyaratan ambang batas dalam pilpres akan hadir dinamika demokrasi dimana pilpres di Indonesia ini akan diikuti lebih dari dua pasangan capres. Bisa diikuti dari unsur parpol, juga nonparpol sebagai wujud menghargai hak seluruh warga negara tanpa memandang kelas (entitas parpol atau tidak). Inilah di antara sejati sistem demokrasi dan ini pula tujuan penting pilpres, yang – dengan biaya tidak kecil – dapat diharapkan hasil pasangan terbaik untuk bangsa dan negeri ini”, tegas Tamsil.

Sekali lagi, tegas Tamsil Linrung untuk dan atau atas nama demokrasi yang lebih berkualitas, serta menghasilkan pemimpin negara yang lebih mumpuni, berintegritas untuk bangsa dan negara, memang penataan sistem presidential itu menjadi hal krusial.

Dan perubahan ambang batas menjadi 0% atau meniadakan PT itu punya dimensi lebih mendasar untuk tata-kelola negara yang jauh lebih baik. Bagaimanapun, meningkatkan demokrasi yang lebih berkualitas merupakan kewajiban bersama seluruh warga negara, dari unsur parpol ataupun nonparpol. Inilah artilukasi penting mencintai NKRI.

Penulis: AW/Bambang Tjoek
Editor: Nawasanga

Baca Juga