Aturan BPJS Berlebihan dan Berpotensi Menghambat Proses Pemulihan Ekonomi
satunusantaranews, Jakarta - Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak memiliki urgensi dan terkesan sangat berlebihan untuk diterapkan dalam aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat.
"Kita tentu menghargai dan menghormati upaya pemerintah dalam meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai pengguna kartu JKN atau BPJS. Semua warga negara memang disarankan untuk berstatus sebagai pengguna asuransi BPJS", ujar Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Sultan B Najamudin (21/02).
BPJS telah terbukti menjadi instrumen asuransi kesehatan yang berdampak signifikan secara luas. Meskipun masih terdapat banyak hal yang harus dievaluasi. Tapi, tidak perlu rasanya memaksakan kehendak pemerintah kepada masyarakat dengan cara-cara yang tidak rasional. Tidak ada urgensinya, tegas Sultan.
Karena menurut informasi, Per 17 September 2021, jumlah peserta JKN-KIS telah mencapai 226,3 juta peserta atau sekitar 83,5% dari total jumlah penduduk Indonesia. Tidak demokratis memaksakan keinginan negara yang sifatnya parsipatory kepada masyarakat. Sehingga lebih lanjut, mantan ketua HIPMI Bengkulu itu mengingatkan bahwa aturan wajib BPJS tersebut berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Setidaknya, hal ini menjadikan urusan birokrasi menjadi semakin rumit.
"Sangat kontradiktif dengan semangat debirokratisasi UU Cipta Kerja. Entah apa motifnya, sebaiknya pemerintah tidak menghambat proses pelayanan publik dengan modus wajib BPJS ini", ujarnya.
Diketahui, terdapat instruksi presiden yang mewajibkan bahwa, Warga yang ingin membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), STNK, melaksanakan ibadah Haji atau Umrah, bahkan jual beli tanah harus memiliki kartu BPJS Kesehatan sebagai salah satu syarat. Hal tersebut tertera dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Komentar