Peluncuran Panduan Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender Selama Pandemi
satunusantaranews, Jakarta - Dalam situasi pandemi ini, Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terjadi di mana saja dan kapan saja, apalagi ditengah situasi yang mengharuskan kita menghabiskan banyak waktu di rumah. Disamping stigma, ketakutan, dan sulitnya akses terhadap layanan membuat korban enggan atau sulit melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya.
Oleh karenanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama dengan UNFPA Indonesia, dan UN Women meluncurkan Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) Dalam Situasi Pandemi (9/10).
Karena perlu disadari bahwa isu kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu yang kompleks dan multisektoral, sehingga pencegahan dan penanganannya pun harus melibatkan seluruh sektor pembangunan melalui panduan yang jelas, apalagi dalam situasi pandemi yang serba tidak menentu ini.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman. Namun, ketika terjadi kekerasan dan korban berada dalam satu rumah dengan pelaku, maka akan menjadi lebih sulit bagi korban untuk menyelamatkan diri maupun meminta pertolongan.
Apalagi berbagai stigma, ketakutan, dan sulitnya akses terhadap layanan membuat korban enggan atau sulit melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya.
"Untuk itu, Kemen PPPA bersama dengan UNFPA dan UN Women menginisiasi penyusunan Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan KBG dalam Situasi Pandemi,” ungkap Menteri PPPA, Bintang Puspayoga.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), selama masa pandemi Covid-19 per 29 Februari hingga 27 November 2020, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa sebanyak 4.477 kasus dengan 4.520 korban. Mayoritas korban kekerasan terhadap perempuan dewasa adalah korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yaitu sebesar 59,82 persen.
Senada dengan Menteri Bintang, Co-Director Hollaback! Jakarta, Anindya Restuviani mengatakan bahwa salah satu hal dari berbagai dampak Covid-19 terhadap perempuan yang paling dikhawatirkan adalah KDRT.
“Ketika pertama kali tersadar bahwa kita menghadapi pandemi Covid-19 dan mengharuskan beraktivitas di dalam rumah, hal yang pertama terbesit dalam pikiran adalah “Aduh, bagaimana nasib teman-teman yang harus tinggal dengan pelaku kekerasan?”.
Kita berpikir bagaimana nasib teman-teman yang menjadi korban KDRT. Selain itu, ada sebagian masyarakat yang berpandangan jika kita tidak berada di ruang publik, maka kekerasan tersebut tidak akan terjadi. Namun, kekerasan tetaplah ada.
"Dan kekerasan hanya berpindah tempat dan berbeda bentuknya saja, diantaranya yang awalnya terjadi secara offline saat ini berpindah ke dunia online,” cerita Anindya.
Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan KBG dalam Situasi Pandemi menjadi panduan lintas kementerian/lembaga, organisasi pemerintah daerah, serta penyelenggara program dan layanan terkait dengan perempuan agar bisa memastikan hal-hal berikut: Pencegahan dan penanganan perempuan dari stigma, diskriminasi, dan KBG akibat pandemi; Pemenuhan hak (kebenaran, keadilan, keamanan dan pemulihan, baik medis maupun psikososial, serta pemberdayaan ekonomi) penyintas KBG dalam situasi pandemi; Pencegahan atau mengurangi keterpisahan perempuan dengan anak atau pengasuhnya di situasi pandemi; dan pendokumentasian, rujukan, dan pemantauan kasus-kasus terkait diskriminasi dan kekerasan pada perempuan.
Sementara itu, Seniman sekaligus UNAIDS Goodwill Ambassador, Atiqah Hasiholan menaruh perhatian terhadap Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) selama masa pandemi, terutama perempuan dan anak. Tidak hanya ketakutannya apabila mereka terpapar Covid-19, namun juga kesulitan untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Ia menyadari selama pandemi, semakin banyak tantangan dan kekhawatiran yang muncul dalam kehidupan rumah tangga, sehingga seringkali memicu terjadinya KDRT.
Oleh karenanya, ia bertekad ingin meningkatkan kesadaran masyarakat akan Zero Tolerance pada kekerasan yang berbasis pada identitas gender seseorang.
“KBG perlu dilawan, bukan hanya untuk kepentingan perempuan saja, melainkan demi kemanusiaan. Dengan melakukan upaya pencegahan dan penanganan KBG, kita telah menyelamatkan jiwa, nyawa, dan harapan para penyintas. Setiap orang, memiliki hak untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju,” tutup Menteri Bintang.
Komentar