satunusantaranews, Jakarta – Panitia Kerja atau Panja Perumus Kesimpulan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan realisasi belanja negara tahun anggaran 2020 mencapai 94,6 persen dari rencana yang ada. Sementara itu, dari realisasi tersebut terjadi defisit anggaran Rp947,7 triliun dan terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) sebanyak Rp 245,59 triliun. Hal ini disampaikan dalam rapat Badan Anggaran bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (6/9).
Menanggapi hal ini, Anggota Badan Anggaran DPR RI Sukamta menyatakan pemerintah telah sembrono dalam mengelola anggaran selama pandemi, karena di satu sisi menghadirkan utang yang semakin besar sementara di sisi lain ada silpa yang besar.
Hingga Juli 2021, utang Indonesia tercatat mencapai Rp.6.750 triliun dengan rasio 40,51 persen dari PDB. Pemerintah beralasan menambah utang karena pandemi, namun kinerja penanganan pandemi sering kedodoran, seperti terjadi saat lonjakan Covid pada bulan Juli dan Agustus dengan banyaknya rumah sakit yang kolaps hingga kelangkaan oksigen.
“Sementara serapan anggaran kesehatan seringkali masih minim hingga pertengahan tahun, ini terjadi di tahun 2020 maupun 2021,” tandas Sukamta.
Di sisi lain, Sukamta juga melihat belanja pemerintah selama ini belum mampu membangun kemandirian ekonomi.
Presiden dalam beberapa kesempatan menyampaikan, pandemi sebagai momentum untuk melakukan lompatan besar menjadi negara maju. Hingga saat ini tidak jelas lompatannya. Yang lebih nampak Indonesia malah makin kecanduan impor.
Mulai dari impor vaksin, alat tes covid, bahkan impor lombok di saat harga lombok jatuh. Ini kan menyakitkan buat para petani. Mestinya anggaran yang masih tersisa ratusan triliun sebagiannya bisa dialokasikan untuk membantu para petani, membeli hasil pertanian dengan harga yang normal, ini tentu akan sangat membantu.
“Silpa anggaran ratusan triliun juga bisa digunakan untuk mempercepat produksi vaksin sendiri,” ungkapnya.
Disisi lain, semakin tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Menurut Sukamta mestinya belanja pemerintah diarahkan untuk meningkatkan hal-hal yang sifatnya produktif. Data BPS menyebutkan pengangguran pada usia muda di bulan Februari 2021 alami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, usia 20-24 tahun mencapai 17,6%, usia 25-29 tahun sebesar 4,9%, sementara kemiskinan esktrem meningkat jadi 4%.
“Banyaknya usia muda yang menganggur ini harus jadi perhatian ekstra pemerintah. Daripada membuka akses ribuan tenaga kerja asing (TKA), lebih baik perbesar belanja untuk meningkatan kualitas SDM Indonesia supaya bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja di berbagai sektor,” tutup Sukamta.
Leave a Comment