Aktivitas Ekonomi Komunitas Bugis di Kampung Nelayan Oesapa, Berburu Teripang hingga ke Perairan Australia
satunusantaranews, Jakarta - Salah satu aktivitas ekonomi komunitas Bugis di Kampung Nelayan Oesapa, Kupang, Nusa Tenggara Timur adalah merebus teripang. Teripang atau biasa disebut timun laut ini merupakan hewan ‘invertebrata holothuroidea’ yang dapat dimakan. Teripang tersebar luas di lingkungan laut di seluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam terutama di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Barat. Indonesia memang menjadi penghasil teripang terbesar di dunia, namun sangat disayangkan saat ini teripang sangat sulit sekali ditemukan.
Sedangkan, teripang yang diburu oleh komunitas Bugis di Kampung Nelayan Oesapa ini bukan sembarangan, melainkan teripang ini adalah jenis 'koro' atau biasa disebut teripang susu, jenis teripang dengan komoditas mahal. Teripang jenis koro ini dibandrol dengan harga sekitar Rp. 350.000/kg. Sedangkan jika sudah direbus, teripang tersebut beratnya dapat mencapai 1 kg.
Nicodemus Dahoklory, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Nusa Cendana, Kupang, menilai bahwa penyebabnya dipicu oleh dua kelompok nelayan, diantaranya adalah kelompok nelayan yang mengambil teripang tersebut memang untuk keperluan ekspor, dan ada juga kelompok nelayan yang memburu teripang untuk di konsumsi sendiri.
"Ada nelayan yang memang sengaja mencari teripang dalam jumlah besar dan ukuran besar untuk ekspor. Tapi, ada juga nelayan yang mendapatkan teripang untuk dimakan mentah. Di NTT, nama makanan itu adalah lawar," kata Nicodemus.
Untuk kelompok yang mengambil teripang untuk di konsumsi sendiri tidak langsung mengolahnya, melainkan langsung dimakan mentah-mentah. Mereka juga mengambil teripang tanpa melihat ukuran. Teripang dengan ukuran kecil ini juga di buru, sehingga populasi teripang ini menurun.
"Nelayan jenis ini menangkap teripang dari berbagai ukuran, yang kecil juga diambil. Akibatnya, menurun populasi teripang," lanjut Nicodemus.
Mengutip dari penelitian Ana Setyatuti, seorang ilmuan dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam sebuah jurnal berjudul “Sinopsis Teripang Indonesia; Dulu, Sekarang dan yang Akan Datang” mengatakan bahwa tinggginya kecepatan pengambilan (eksploitasi) di alam berbanding terbalik dengan kemampuan teripang untuk memperbanyak, tumbuh, dan berkembang. Sehingga perlu diberlakukan pembuatan aturan yang tegas dan terarah mengenai perlindungan teripang dan diperlukan lebih banyak lagi pihak yang terlibat dalam pengumpulan data-data pendukung seperti ‘list of species’ teripang yang diperdagangkan yang telah dikonfirmasi secara taksonomi.
Selain perlu dibuatkan regulasi mengenai penangkapan, nelauam juga perludilakukan sebuah progam penelitian budidaya teripang atau pembenihan indukan teripang. Dari hasil penelitian tersebut diharapkan adanya alih teknologi kepada nelayan untuk dapat membudidayakan teripang secara besar.
Bisnis teripang ini adalah bisnis pada modal. Butuh banyak tenaga kerja/nelayan dan butuh peralatan yang tidak murah. Muhammad Guntur, pria asal Bugis yang memiliki istri orang Rote, memiliki 4 perahu motor. Masing-masing perahu tersebut diawaki 6 sampai 8 orang. Mereka mencari teripang ini di perairan antara Pulau Rote dan Australia. Mereka berlayar dalam waktu yang cukup lama, sekitar 1 sampai 2 minggu. Dengan membawa ransum, BBM, serta keperluan lainnya untuk dapat bertahan hidup ditengah laut.
Teripang ini biasanya terdapat di dasar laut. Seperti di terumbu karang dan terpapar di atas substrat pasir, dan pecahan karang. Perlu keterampilan dan keahlian untuk memburu teripang tersebut. Teripang ini setelah melewati proses pengolahan, dimasak, lalu dikeringkan, akan siap untuk di kirim ke kota-kota besar yang ada di Indonesia yang kemudian akan di ekspor ke negara-negara seperti Singapura, Hong Kong,
Komentar