Apakah Semua Jenis Perlombaan di Olimpiade Legal Menurut Syariat
satunusantaranews, Jakarta - Sebenarnya Cabang Olahraga Bulutangkis hanya satu di antara beberapa cabang olahraga yang diselenggarakan di Olimpiade Tokyo 2020, masih banyak jenis perlombaan yang diadakan di acara akbar olimpiade yang sedang diselenggarakan di Tokyo tersebut. Pertanyaannya, apakah semua jenis perlombaan legal menurut syariat? Jika tidak, seperti apa batasnya?
Seperti kita ketahui, kabar baik tertuju pada Tanah air, khususnya saat di Cabang Olahraga Bulu Tangkis Ganda Wanita Indonesia yang behasil menyabet medali emas. Sontak, prestasi tersebut mendapatkan apresiasi besar-besaran dari banyak orang, utamanya masyarakat Indonesia.
Pada mulanya perlombaan yang diselenggarakan merupakan bentuk permainan. Secara garis besar, hal ini masuk dalam tatanan muamalah atau aktifitas antar sesama manusia yang notabenenya halal dan tidak dipermasalahkan, terkecuali aktifitas ini disisipkan dengan kegiatan yang bertabrakan dengan rambu-rambu syariat.
Mengutip dari al-Mausuah al-Fiqhiyyah, jenis perlombaan terklasifikasi menjadi dua bagian: pertama, perlombaan murni permainan tanpa ada imbalan (reward) yang disepakati. Menurut syariat, hal ini bebas dilakukan, tidak dilarang.
Alasannya mudah saja, selain berdasarkan asas muamalah yang pada dasarnya serba halal, permainan ketegori pertama ini pernah dipraktekkan langsung oleh Rasulullah saw. kala itu Baginda Nabi mengajak kekasihnya tanding lari, lantas Siti Aisyah menyetujuinya.
Artinya:Pada dasarnya, perlombaan tanpa adanya hadiah diperbolehkan, seperti lomba lari, tanding burung, keledai,gajah dll. Dikecualikan dari hukum asal, beberapa jenis perlombaan yang akan disebutkan di bawah. Boleh juga tanding gulat, lempar batu, dan lain-lain.
Kebolehan ini berdasarkan hadis Nabi. Kala itu saat di tengah perjalanan, Nabi mengajak Siti Aisyah tanding lari, lantas siti aisyahlah yang menang. Kemudian siti aisyah berkata, selang beberapa lama Rasulullah mengajaknya tanding lagi kemudian Beliaulah yang memenangkannya. Ada pun hukum jenis lomba yang lain, dikiyaskan atas kasus tersebut, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Kedua, perlombaan yang disertai dengan adanya hadiah, jenis ini, ulama nyaris tidak memperbolehkan. Festival olahraga yang disisipkan hadiah dipenghujung acara boleh saja dilakukan. Meski demikian, kebolehan ini hanya terbatas beberapa saja di antara jenis olahraga yang sangat beragam, antara lain: lomba tarik panah, lomba pacuan kuda, dan unta.
Selain jenis tersebut ulama tidak memperbolehkan. Karena memang reward yang diberikan dari hasil tanding, mengandung unsur judi atau untung-rugi yang notabennya dilarang oleh syariat.
Adapun legalitas dari ketiga lomba yang telah disebutkan karena berdasarkan hadis Nabi Saw. Belum lagi, ketiga jenis tersebut memicu semangat juang serta mengasah bakat perang yang perannya sangat signifikan dalam membentengi agama dari serangan marabahaya musuh.
Artinya: Para fuqaha sepakat, soal kebolehan lomba berhadiah, hanya saja mereka berbeda tentang kategori yang diperbolehkan. Menurut mayoritas ulama lomba berhadiah tidak diperbolehkan kecuali di tiga tempat, yakni tarik panah, pacuan kuda, dan unta.
Lantas bagaimana dengan beberapa festival olahraga yang kerap diselenggarakan di era sekarang, utamanya di ajang-ajang bergengsi semisal olimpiade?
Perlu diketahui, alasan di balik larangan lomba berhadiah karena mengandung unsur qimar atau judi. Selain itu, kesepakatan ulama rupa-rupanya hanya tertuju pada jenis lomba berhadiah yang rewardnya dipungut dari kedua bela pihak atau salah satu peserta tanding.
Dengan kata lain, apresiasi hadiah yang diambil dari hasil sponsor atau pihak ketiga lainnya, masih berpeluang boleh. Selain itu, hal ini selaras dengan salah satu pernyataan ulama kontenporer.
Menurut Syakh Utsaimin, perlombaan yang kerap diselenggarakan di era kini, dimana reward diambil dari pihak ketiga bukan peserta, sejatinya tidak menyalahi aturan, alias diperbolehkan. Dalam hal ini ulama menilai perlombaan yang diselenggarakan di ajang bergengsi seperti olimpiade, tidak berbenturan dengan kaidah agama. Pemberian hadiah tersebut murni sebagai bentuk apresiasi pihak lain terhadap bakatnya yang tidak biasa dan lebih unggul dari peserta lainnya.
Tidak hanya ulama kelas modern yang berbicara kelegalan festival berhadiah, sebenarnya ulama klasik pun turut memberikan tanggapan baik tentang hal ini.
Dalam kitab Hasyiyah alDasuqi turut menyebutkan salah satu pendapat yang memperbolehkan “lomba berhadiah” selama hadiah diperoleh dari pihak ketiga, hanya saja kebolehan ini dibingkis dengan kata “makruh”, yang artinya sebaiknya jangan diselenggarakan.
Artinya: Kesimpulannya, selain tiga jenis lomba yang telah disebutkan, diperbolehkan dengan dua syarat: (1). Bebas hadiah. (2) Perlombaan diselenggarakan guna mengasah bakat perang, yakni jihad guna bertahan dari serangan musuh. Adapun perkataan ulama “jika tidak memenuhi syarat maka tidak diperbolehkan”, maksudnya adalah haram, konon hanya sebatas makruh. Zanaty pernah menghikayatkan tentang dua pendapat, makruh dan haram tentang pihak ketiga yang bersuka-rela mengeluarkan hadiah tertentu untuk pemenang lomba gulat atau lari, atau jenis lomba lain yang tidak disebutkan oleh nas, (Hasyyah alDasuqy, 07/311).
Komentar