Asa Rakyat Bumi Etam Di Balik Pemindahan Ibu Kota Negara ‘Mejuq Mang Melak Perah”
satunusantaranews, Jakarta - Keputusan memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) di masa pemerintahan Presiden Jokowi patut diberi apresiasi yang tinggi setelah silih berganti rezim berkuasa namun tidak mampu diwujudkan. Sementara alasan pemindahan IKN dikarenakan Jakarta dianggap sudah terlalu berat menanggung beban sebagai Pusat Pemerintahan, Pusat Bisnis, Pusat Keuangan, Pusat Perdagangan dan Jasa.
Keterpilihan Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi tujuan pemindahan Ibu Kota Negara karena dianggap memiliki resiko bencana lebih minim dibanding daerah lain (banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan dan tanah longsor). Letaknya ditengah wilayah indonesia, memiliki infrastruktur yang relatif lengkap, lokasi Kab. PPU dan Kab. Kukar berdekatan dengan wilayah perkotaan yang berkembang yakni Samarinda dan Balikpapan serta tersedia lahan 180 ribu hektar yang dikuasai oleh pemerintah pada dua kabupaten tersebut.
Berselang dua tahun lebih, sejak Presiden Jokowi mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan IKN ke Kaltim, seakan menemui titik terang dengan dibentuknya Panitia Khusus (Pansus ) IKN oleh DPR RI untuk membahas RUU IKN bersama dengan pemerintah.
Menarik bahwa RUU IKN tersebut menurut pemerintah (Bapenas) mengatur ihwal pemindahan status IKN yang direncanakan pada semester awal Tahun 2024 dan bukan pemindahannya secara fisik. Pemindahan IKN secara fisik sangat tergantung pada progress pembangunan fisik yang tahapannya tertuang dalam rencana induk (Master Plan) yang telah disusun oleh pemerintah.
Untuk itu perlu adanya kepastian tahapan tersebut berjalan dengan baik melalui peng-arus utama-an pembangunan infrastruktur IKN, melalui politik penganggaran utamanya yang bersumber dari APBN.
Sementara itu untuk anggaran yang bersumber dari swasta perlu ada skema pembiayaan yang menarik agar swasta berminat untuk berinvestasi. Selain itu kesinambungan pembangunan IKN harus dapat dipastikan tetap berjalan pada rezim pemerintahan berikutnya yang diikat melalui regulasi setingkat undang-undang.
Pembangunan dan pemindahan IKN juga harus disertai dengan komitmen yang tinggi untuk memaksimalkan potensi dan partisipasi lokal (bottom-up), karena partisipasi itu adalah bentuk penghargaan sekaligus pengakuan atas sumber daya lokal. Partisipasi itu bukan sekedar konsep yang mempuni di atas kertas, manis untuk dituturkan hingga membuai, yang pada akhirnya menimbulkan luka.
Semua mata rantai pembangunan dan pemindahan IKN perlu memperhatikan, mendengar masukan dan pandangan dari pemangku kepentingan, khususnya rakyat Bumi Etam.
Sebab meminggirkan atau pun meninggalkan sama dengan mencabut mereka dari tanah leluhurnya. Kita tidak ingin mereka hanya sekedar mengagumi kemegahan dan gemerlapnya IKN tanpa memberi mereka ruang yang cukup untuk berkontribusi karena itulah senyata-nyatanya kebanggaan yang semu.
Pembangunan dan pemindahan IKN tidak hanya fokus pada kawasan yang masuk dalam wilayah IKN saja, karena IKN sendiri tidak berada diruang yang hampa juga bukan kota mandiri yang semua kebutuhan warganya dapat dipenuhi sendiri.
Tetapi IKN akan terhubung dan memiliki ketergantungan dengan daerah yang ada di sekitarnya atau zona penyangga (Kota Balikpapan, Kab. PPU, Kab. Kukar dan Kota Samarinda).
Keberadaan zona penyangga memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung keberlangsungan IKN. Untuk itu perlu dihitung secara cermat dan rigid kondisi eksisting lingkungan (fisik, biologi dan sosial ekonomi) zona penyangga. Sehingga dengan demikian kita bisa memprediksi perubahan dan kemampuan daya dukung lingkungan pada kurun waktu tertentu sekaligus mampu menghasilkan kebijakan yang terintegrasi dengan kebijakan IKN.
Mengakhiri tulisan ini saya meminjam petuah yang dalam Bahasa Dayak Kayan berbunyi ‘Mejuq Mang Melak Perah” kurang lebih berarti membangunlah tanpa meninggalkan luka.
Salam
Komentar