Prof. Maruara Siahaan
Jakarta, satunusantaranews.co.id – Apa pun aturannya, konstitusi kita jelas menjamin tidak boleh dirampas nyawa, martabat dan harta seseorang tanpa due process of law. Proses hukum yang sah. Artinya, dia bisa memberi jawaban, menanggapi dan memberi bukti. Lalu pihak lawan bisa memberi jawaban, tanggapan, dan juga bukti. Baru setelah itu, bukti-bukti tersebut diolah pihak yang netral, dalam hal ini pengadilan.
Demikian ditegaskan Maruarar Siahaan, saksi ahli dalam uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), yang diajukan Andri Tedjadharma, warga Taman Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
“Bener-bener berhutang nggak, kalau jangan-jangan nggak berhutang, itu akhirnya gimana?” ujarnya usai persidangan kepada wartawan di Gedung MK, Rabu (28/5) sore.
Maruarar yang pernah menjabat Hakim Mahkamah Konstitusi pada 2003 hingga 2006 ini, menegaskan, meskipun PUPN boleh menetapkan menurut undang-undang, tapi konstitusi UUD sebagai yang paling tinggi mengatakan harus pihak ketiga yang netral. “Dan, itu hanya pengadilan,” tegasnya.
Apalagi, dari persoalan yang dialami Bank Centris Internasional maupun Andri Tedjadharma sebagai pemohon uji materi UU PUPN ini, Maruarar mengingatkan rekan-rekan media, ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni pemohon tidak terima duit. Bank-nya juga tidak. “Ini persoalannya. Tidak terima duit tapi dituntut membayar. Gimana kalau begini?” Tanyanya.
Maruarar melanjutkan, Bank Centris Internasional tidak pernah menerima dana dari Bank Indonesia seperti yang diungkapkan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan telah diperkuat dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka tidak seharusnya ada penagihan maupun penyitaan terhadap pihak yang tidak terbukti menerima uang.
“Jangan sampai seseorang yang tidak menerima apa-apa justru dituntut untuk membayar. Ini kan aneh, bagaimana negara bisa melakukan itu tanpa proses hukum yang sah?” tegas Maruarar.
Ia juga menyoroti kejanggalan dua rekening berbeda atas nama yang mirip: satu atas nama berbahasa Indonesia Bank Centris Internasional (BCI) dengan nomor rekening berakhiran 0016, dan satu lagi dalam versi bahasa Inggris, Centris International Bank, dengan nomor rekening berakhiran 000. Uang dari Bank Indonesia, menurut audit BPK, justru mengalir ke rekening yang terakhir, bukan ke rekening pemohon.
“Kontraknya dengan Bank Centris Internasional, tapi uangnya masuk ke rekening Centris International Bank. Kok yang bikin perjanjian yang harus menanggung akibatnya?” tuturnya.
Korupsi di BI, Kenapa Negara Diam?
Maruarar menyebut adanya dugaan korupsi dalam aliran dana oleh Bank Indonesia itu. Sehingga, ia pun mempertanyakan sikap diam lembaga-lembaga negara, termasuk PUPN dan pemerintah yang seolah menutup mata terhadap audit resmi dari BPK.
“Bukti sudah ada. Audit BPK itu dokumen otentik yang sah dan sudah dijadikan alat bukti di pengadilan. Tapi tidak ada satu pun lembaga yang bertindak. Semua pura-pura tidak tahu. Ini yang membuat saya heran, bahkan geram,” katanya dengan nada tinggi
Ia menyinggung pernyataan Presiden Prabowo, termasuk janji memberantas korupsi hingga ke Antartika. “Lha ini, korupsinya di depan mata, dekat sekali. Tapi siapa yang menindak? Nggak ada. Pemohon sudah menderita sekian lama, dan tidak ada keadilan. Mungkin, takdir pemohon seperti itu. Tapi, ini sistem yang membiarkan orang tidak bersalah dihukum, harus diperbaiki,” ujarnya.
Maruarar menegaskan bahwa hak asasi manusia, termasuk hak untuk mempertahankan diri, mendapatkan proses hukum yang adil, dan hak atas kepemilikan harta, dijamin oleh konstitusi. “Tidak boleh harta orang dirampas tanpa proses hukum yang sah. Itu prinsip dasar konstitusi. Kalau ada peraturan seperti PUPN yang melanggar itu, ya batal demi hukum,” tegasnya.
Kasasi Bermasalah
Menjawab pertanyaan mengenai sudah adanya putusan pengadilan dalam kasus tersebut, Maruarar menyatakan bahwa putusan itu muncul sangat terlambat, bahkan hingga 20 tahun kemudian. Ia pun mempertanyakan keabsahan putusan tersebut, apalagi Mahkamah Agung juga ada menyatakan tidak pernah menerima permohonan kasasi.
“Kalau Mahkamah Agung bilang tidak pernah menerima permohonan kasasi, lalu tiba-tiba ada putusan, itu kan masalah juga di Mahkamah Agung. Kita jadi bisa melihat betapa mudahnya pihak-pihak tertentu memanipulasi dan bermanuver di lembaga-lembaga tinggi,” katanya.
Menurut Maruarar, fakta bahwa audit BPK telah membuktikan tidak ada aliran dana ke pemohon seharusnya menjadi pertimbangan kuat bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Andri Tedjadharma.
“Jelas-jelas tidak ada hutang, tapi harta disita. Ini penindasan hukum atas nama undang-undang usang. PUPN itu lahir di era 1960-an, jauh sebelum konstitusi kita mengalami amandemen besar-besaran yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepastian hukum,” ujar Maruarar mengakhiri keterangannya.
Sementara itu, Andri Tedjadharma, pemegang saham Bank Centris Internasional sekaligus pemohon uji materi, yang juga datang ke Mahkamah Konstitusi, mengatakan, pernyataan Ketua PUPN Rionald Silaban yang juga Dirjen DJKN, sebagai bualan yang berbahaya.
“Dia membangun narasi seolah-olah saya telah mengambil uang rakyat dan mencoba menghambat pengembalian, padahal rakyat butuh untuk pembangunan. Pernyataan ini menyesatkan yang jahat. Yang benar, saya korban dari oknum pemerintah sendiri yang tidak membayar atas promes nasabah sebesar Rp492 milyar dan menggelapakan jaminan lahan seluas 452 hektar,” ujarnya.
Andri bahkan menegaskan, hingga saat ini tidak pernah ada rekening koran Bank Centris Internasional yang telah dimintanya sejak 1998 silam. “Kalau bicara tidak bisa membuktikan Andri Tedjadharma menerima uang dengan menunjukkan rekening koran asli BCI, itu namanya fitnah yang keji,” pungkasnya
Leave a Comment