satunusantaranews, Jakarta – Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI mencari solusi terhadap konflik masalah pertanahan penghuni Tanah Surat Ijo dengan Pemerintah Kota Surabaya. Audiensi dengan Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TSIS), digelar secara virtual dan fisik terbatas, di Gedung DPD RI Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (20/1).
BAP DPD RI mempunyai tugas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 121 Tata Tertib DPD RI, salah satunya adalah menampung dan menindaklanjuti atas pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan daerah, meliputi permasalahan korupsi, maladministrasi serta pelayanan publik.
“Berdasarkan surat yang masuk yang kami terima melalui Sekretariat BAP DPD RI yaitu dari Saudara Endung Sutrisno dengan Nomor: 005/P2TSIS/KEL/I/2020 tanggal 7 Februari 2020, perihal permohonan Audiensi, untuk difasilitasi dalam penyelesaian perjuangan rakyat penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya dalam mengembalikan hak atas tanah sesuai UUPA yang saat ini masih dibelenggu oleh Pemerintah Kota Surabaya,” ungkap dr. Asyera Respati A. Wundalero Wakil Ketua BAP DPD RI membuka rapat.
Mewakili pihak pengadu dari P2TSIS M Farid mengungkapkan berbagai upaya warga masyarakat sudah dilakukan selama puluhan tahun, meskipun sudah mendapat respon dari Gubernur dan Menteri Dalam Negeri serta rekomendasi dari Kanwil BPN Jawa Timur, akan tetapi masih belum selesai dan belum jelas.
“Harapan masyarakat penghuni Tanah Ijo Surabaya, DPD RI dapat ikut mendorong penyelesaian permasalahan ini, agar dilakukan restrukturisasi dan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan. Menjadikan sebagai TORA sesuai Perpres No 86 tahun 2018. Memperolah hak atas tanah khususnya SHM. Mencabut HPL atas nama Pemerintah Kota Surabaya. Mencabut Peraturan Daerah tentang Izin Pemakaian Tanah beserta retribusinya,” ucap Farid.
Pada kesempatan yang sama Ketua P2TSIS Endung Sutrisno menjelaskan, bahwa terdapat dugaan maladminstrasi berkenaan dengan penerbitan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh BPN Tahun 1997 untuk Pemerintah Kota Surabaya, sedangkan di atas tanah tersebut secara fisik dihuni/didiami oleh rakyat lebih dari 20 tahun. Selain itu, masyarakat diharuskan membayar sewa kepada pemerintah kota, juga rakyat yang melakukan usaha kecil dan menengah dibebani juga retribusi persetujuan HGB di atas Hak Pengelolaan, partisipasi pembangunan kepada anggota P2TSIS yang berusaha di bidang Lembaga Sertifikasi Profesi.
“Pokok masalah masyarakat dari hak atas tanah dan keberatan atas retribusi ijin sewa atas tanah, sebelum 1997 masyarakat Surabaya yang mendiami tanah sudah sekian lama, tapi kemudian diklaim oleh Pemkot Surabaya melalui HPL dan disetujui dengan syarat tanah yang diduduki harus diselesaikan dan hak atas tanah harus diberi HGB, kemudian bila dilimpahkan ketiga harus ada ijin menteri ATR/BPN, apabila 3 hal ini tidak dilaksanakan otomatis HPL oleh Pemkot Surabaya harusnya cacat hukum dan batal demi hukum, tapi kami tidak pernah diajak dialog,” jelasnya.
Sebagai informasi, Masyarakat penghuni Surat Ijo di Surabaya secara faktual telah bertempat tinggal selama rata-rata lebih dari 20 tahun, hingga saat ini tidak dapat mengurus dan memperoleh hak atas tanah karena BPN telah menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di atas tanah tersebut sesuai SK No.53/HPL/BPN/97 tanggal 8 April 1997. Sebelumnya tanggal 31 Januari 1997 ditetapkan dengan Perda No 1 Tahun 1997 tentang Izin Pemakaian Tanah (IPT) yang baru diundangkan tanggal 25 April 1997 setelah SK HPL. Masalah tanah yang dikenal dengan Surat Ijo Surabaya merupakan masalah hak atas tanah seluruh penghuni di wilayah Kota Surabaya yang berjumlah ratusan ribu yang mendiami sekitar 46.811 persil seluas 8.319.082 m2. Tanah tersebut sudah tercatat sebagai aset pemerintah kota Surabaya. Surat Ijo Surabaya merupakan ijin pemakaian tanah berwarna hijau dari pemerintah kota Surabaya.
“BAP DPD RI berkomitmen menyelesaikan permasalahan melalui mediasi dengan mengundang pihak terkait dalam upaya penyelesaian HPL oleh Pemerintah Kota Surabaya yang telah dihuni masyarakat kota Surabaya yang memiliki izin Pemakaian Tanah (IPT) atau Surat Ijo sesuai peraturan Perundang-undangan yang berkeadilan,” pungkas Asyera menutup rapat.
Leave a Comment