BEDAH KASUS KORUPSI | PEMOTONGAN DAN PENYALAHGUNAAN DANA HONORARIUM PENANGANAN PERKARA (HHP) BAGI HAKIM AGUNG MENCAPAI RP. 97 MILYAR

Jakarta, satunusantaranews.co.id – Indonesia Police Watch (IPW) bersama sejumlah elemen penggiat anti korupsi akan menyelenggarakan Diskusi Publik dengan topik "BEDAH KASUS  DUGAAN KORUPSI PEMOTONGAN DAN  PENYALAHGUNAAN DANA HONORARIUM PENANGANAN PERKARA (HHP) BAGI HAKIM AGUNG  MENCAPAI RP. 97 MILYAR". Diskusi rencanya digelar dalam waktu dekat di Jakarta, dihadiri pegiat anti korupsi, advokat, mahasiswa fakultas hukum, dan mengundang Direktorat Penyidikan KPK, Direktorat Tipikor Bareskrim Polri, Dirdik Pidsus Kejagung, dan Komisi Yudisial.

Dugaan Tindak Pidana Korupsi berkaitan dengan permintaan  paksa atau pemerasan jabatan (kneveleraij) yang dilakukan secara berlanjut, yakni pemotongan dan penyalahgunaan Dana Honorarium Penanganan Perkara (HHP) Bagi Hakim Agung Tahun Anggaran 2022-2023-2024 dan/atau Tindak Pidana Pencucian Uang mencapai Rp.97 Milyar.

Dikualifisir melanggar Pasal 12 huruf E dan  F jo Pasal 18 UU RI 20 tahun 2021 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP  jo Pasal 3 dan 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.

“Kami ingin menjaga marwah MA sebagai Benteng Terakhir bagi pencari keadilan. Dengan harapan agar  Mahkamah Agung hanya boleh dihuni oleh Hakim Agung yang berintegritas tinggi yang mampu memberikan keadilan, kepastian hukum  dan kemanfaatan lembaga peradilan “ ujar Sugeng Teguh Santoso, SH, Ketua IPW kepada wartawan di Jakarta, Rabu  (11/9/2024).

Sugeng Teguh Santoso, SH mengungkapkan, kasusnya sendiri bermula ketika pada tanggal 10 Agustus 2021, dikeluarkan penetapan atas Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan No. 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, yang mendasari hakim agung berhak atas honorarium dalam penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali paling lama 90 (sembilan puluh)  hari kalender sejak perkara  diterima oleh unit penerima surat pada Ketua Majelis sampai perkara dikirim ke pengadilan pengaju, sebagaimana  yang tercantum dalam Nota Dinas Panitera.

Kemudian, sejak tahun 2022  secara berlanjut sampai dengan tahun 2024 ternyata  terjadi pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung. Pada tahun 2022 pembayaran Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung dilakukan dengan penyerahan uang cash dan disertai tanda terima dalam 2 bentuk yaitu bukti tanda terima hakim agung yang 100% dan tanda terima bukti hakim agung yang Dana Honorarium Penanganan Perkaranya  telah dipotong.

Pada tanggal 12 September 2023, landasan pemotongan dituangkan Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung yang terakhir Surat Keputusan Sekretariat Mahkamah Agung RI No:  649/SEK/SK.KU1.1.3/VIII/2023 tanggal 23 Agustus 2023 tentang Perubahan Atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung No.: 12/SEK/SK/II/2023 tentang Standar Biaya Honorarium Penanganan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali Bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2023 dan Nota Dinas Panitera MA No.: 1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tahun 2023.

Tata cara pembagian  dan/atau penyerahan Dana Honorarium Penanganan   Perkara Para Hakim Agung diawali, kepaniteraan Mahkamah Agung RI, dalam hal ini  Asep Nursobah selaku Penanggungjawab HPP  menyiapkan  laporan majelis yang menyelesaikan perkara 90 (sembilan puluh) hari. Kemudian mengajukan permintaan pembayaran, dan selanjutnya Bank Syariah Indonesia (BSI)  selaku Bank yang membayar mengirimkan sejumlah uang sebagaimana permintaan Asep Nursobah ke rekening masing-masing Hakim Agung yang berhak.

Selanjutnya  pada hari yang sama, Bank BSI secara otomatis memotong Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 26,95% dari rekening Hakim Agung , diluar pemotongan untuk penitera pengganti sebesar 7,5% , panitera muda kamar 1%, operator 3,55% dan staff majelis kolektif  2% (untuk perkara dengan majelis 3 hakim), potonngan yang sama juga untuk Perkara dengan  majelis 5 hakim dan Perkara dengan Hakim Tunggal . Potongan yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari Hakim  Agung, dan dikumpulkan di rekening penampungan yang diduga  dikelola oleh sdr. AN  . Sehingga patut diduga adanya potongan sebesar 26,95%  adalah perbuatan korupsi  yang terjadi atas sepengetahuan pimpinan Mahkamah Agung dan  merugikan Para Hakim Agung yang berhak.

“IPW mendapat informasi Pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara pernah mendapat penolakan dari sejumlah Hakim Agung. Selanjutnya diduga atas intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI, para Hakim Agung diminta untuk membuat surat pernyataan yang ditandatangani diatas materai, yang pada pokoknya menyatakan bersedia   dilakukan pemotongan  honorarium Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 40%, dengan rincian 26,95% untuk  “tim pendukung teknis yudisial”, sisanya dibagikan kepada supervisor dan tim pendukung administrasi yudisial. HPP yang menjadi hak Hakim Agung diberikan atas dasar PP NO. 82 TAHUN 2021 pasal 13 ayat (1) huruf a. Jo. Pasal 13 B ayat (1) jo. Pasal 13 C ayat ( 1 ) dimana tidak terdapat aturan pemberian kewenangan pada Sekretaris maupun pimpinan MA untuk melakukan  pemotongan.  Pemotongan HPP hakim Agung harus dilakukan berdasarkan aturan dalam Peraturan per-UU-an tidak boleh atas putusan pimpinan Ma.  Melakukan pemotongan honor memakai dasar hukum surat pernyataan adalah tidak sesuai aturan. Tentu hal ini ironis dan memperihatinkan” tukas Sugeng lagi.

Menurut  Laporan Tahunan Mahkamah  Agung RI  2023, jumlah perkara yang diputus sebanyak 27.365, tahun 2022 sebanyak 28.024 perkara. Tahun 2023, terdapat pemotongan Dana Honorarium    Penanganan Perkara  Para  Hakim Agung untuk perkara kasasi biasa sejumlah Rp. 47,9 milyar, apabila diasumsikan pemotongan sebesar 25.95% per perkara kasasi biasa (3 Majelis Hakim) x Rp6.750.000,00 x perkara yang diputuskan setahun. Sedangkan tahun 2022 untuk perkara kasasi biasa akan diperoleh pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung sebesar Rp. 49 milyar.

Berdasarkan penjelasan juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto kepada Tempo.co, Senin (12/8) ada sembilan proses untuk menyelesaikan sebuah perkara di MA yang tidak hanya melibatkan Hakim Agung, tapi juga staf lainnya. Mempertimbangkan hal tersebut, pimpinan Mahkamah menyepakati sebagian Dana Honorarium Penanganan Perkara sebanyak 40% didistribusikan  (dipotong) kepada supporting unit atau tim pendukung yang terdiri dari supervisor,  tim pendukung teknis dan manajemen, yang dituangkan dalam Keputusan Panitera Mahkamah Agung Nomor: 2349/PAN/HK.00/XII/2023 tentang Penetapan Satuan Besaran Honorarium Penanganan Perkara pada Mahkamah Agung RI.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, diduga telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi Pemotongan dan Penyalahgunaan Dana Honorarium Penanganan Perkara  Bagi Hakim Agung Tahun Anggaran 2022-2023-2024, yang perlu didalami siapa pihak yang dapat dimintakan pertanggung jawaban atas pemotongan tersebut  yang sedikitnya bernilai sebesar  Rp. 97 milyar.

Ada pelaporan ke KPK

Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat telah melaporkan kepada KPK  atas dugaan pemotongan dan penyalahgunaan Dana Honorarium Perkara (HHP) Bagi Para Hakim Agung Senilai Rp 97 Milyar dan/atau TPPU, yang telah terkonfirmasi sebagai tindak pidana korupsi. Setidaknya kontruksi hukumnya serupa dan sebangun dengan dugaan perkara korupsi pemotongan dana hasil insentif pajak untuk pegawai Kab. Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah menyebabkan Kepala  Dinas BPPD, Aris Suryono dituntut JPU  selama 7 tahun dan 6 bulan  penjara di PN Tipikor Sidoarjo (9/9/24). Dan dugaan korupsi terdakwa  Subhi,  mantan Kepala BPPRD Kota Jambi  yang telah divonis hakim 4 tahun, 5 bulan di Pengadilan Tipikor Jambi pada 20 Junuari 2022, lantaran dengan kekuasaannya melakukan pemotongan pembayaran dana insentif pemungutan pajak tahun 2017 hingga 2019.

“Materi diskusi publik membahas tentang judicial corruption yang terjadi bukan lantaran kebutuhan (corruption by need) melainkan  dikualifikasi corruption by greed atau korupsi karena keserakahan. Kami akan mengundang sejumlah ahli hukum dan tokoh penggiat anti korupsi, dengan peserta dari kalangan akademisi Fakultas Hukum Universitas yang ada di Jakarta, lembaga-lembaga swadaya mayarakat, juru bicara MA, Direktorat Penyidikan Kejagung, Direktorat Penyidikan KPK, dan Direktorat Tipikor Bareskrim Polri.  Hasil rumusan diskusi publik akan kami serahkan kepada KPK, KY dan Komisi III DPR RI untuk kepentingan penindakan dan pengawasan” tukas Sugeng Tegung Santoso, SH.

Penulis:

Baca Juga