satunusantaranews, Jakarta – MK sudah menjatuhkan 12 Putusan mengadili Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker), salah satu Putusan, yaitu Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2020, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian Permohonan Para Pemohon dan memutus UU Ciptaker inkonstitusional secara “terbatas”.
Adapun yang menjadi alasan Mahkamah Konstitusi adalah karena metode perubahan undang-undang yang tidak memenuhi standar baku, tidak dipenuhinya partisipasi publik secara layak dan adanya perubahan substansi setelah diundang-undangkan.
Yang menjadi hal menarik adalah adanya perintah kepada para pembuat Undang-Undang untuk memperbaiki UU Ciptaker dalam jangka waktu 2 tahun, namun Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan apa maksud dari “memperbaiki” tersebut.
Jika melihat pertimbangan hukum Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2020, maka terlihat jelas alasan utama dari Mahkamah Konstitusi adalah permasalahan formil, yaitu tidak diaturnya metode omnibus law dalam melakukan perubahan Undang-Undang.
Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga menjadikan tidak cukupnya diserap aspirasi publik menjadi alasan. Hal ini membuka kemungkinan agar substansi dari UU Ciptaker juga turut diperbaiki.
Paul E.R. Simanjuntak, SH, MH, L.LM (Ketua Bidang Perencanaan dan Kajian Strategis DEP LKBH SOKSI) mengatakan “sebagai akibat dari ketidakjelasan maksud dari kata “diperbaiki” ini, maka akan menimbulkan multitafsir dalam jangka waktu 2 tahun ke depan”, selanjutnya dikatakan “Apakah jika secara formil diperbaiki, tetapi materi substansi tidak diubah, maka sudah memenuhi Putusan MK? Apakah juga harus memperbaiki substansi UU Ciptaker? Atau jika materi UU Ciptaker juga dirubah, apakah akan menyalahi Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2020? Atau bahkan jika ternyata ketentuan Perundang-undangan dirubah dan dimasukkan metode omnibus law didalamya, maka Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2020 sudah dipenuhi?”.
Paul E.R. Simanjuntak, SH, MH, L.LM melanjutkan “hal ini akan menjadi bola panas yang liar pada 2 tahun kedepan. Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 2024, kita akan mengadakan pesta demokrasi, yaitu pemilu. Oleh karena itu, tahun 2023, terutama akhir tahun, akan menjadi momen-momen politik yang panas.
Neil Sadek, SH (Ketua Bidang Hukum dan HAM Depinas SOKSI) menambahkan “Keberadaan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2020 dapat menjadi isu panas yang bergerak liar dan dapat mempengaruhi stabilitas politik.
Untuk itu, pemerintah dan DPR harus bergerak cepat seperti berlari sprint untuk mengejar perbaikan UU Ciptaker tersebut. Jangan sampai keberadaan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2020 menjadi sebuah permasalahan baru yang mengganggu stabilitas politik negara kita”.
Kemudian Paul E.R. Simanjuntak, SH, MH, L.LM mengatakan “karena itu kami SOKSI berbadan hukum dan LKBH SOKSI selalu mengingatkan agar DPR dan Pemerintah benar-benar aspiratif dalam mengadopsi dan merumuskan perbaikan UU ini sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum SOKSI, Bapak Ir. Ali Wongso Sinaga bahwa Perbaikan UU Ciptaker haruslah mencerminkan keadilan bagi rakyat.
Untuk itu, agar dapat melakukan perbaikan dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Satu dan lain hal, untuk kepentingan DPR sendiri dan terutama masyarakat luas.
Leave a Comment