Bukti Audit BPK di Sahkan Majelis Hakim | BCI Difitnah dan Jadi Kambing Hitam

Jakarta, satunusantaranews.co.id – Audit BPK dijadikan barang bukti oleh jaksa dari Kejaksaan Agung selaku pengacara negara mewakili BPPN, dalam gugatannya melawan Bank Centris Internasional di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), tahun 2000 silam.

Namun, faktanya, bukti berupa audit BPK yang telah disahkan majelis hakim PN Jaksel, justru menjadi bumerang bagi BPPN sendiri dan Bank Indonesia. Audit BPK itu membongkar adanya perbuatan penipuan dan penggelapan uang negara yang dilakukan oknum-oknum BI dalam penyaluran dana BLBI 1998.

Audit BPK dengan jelas dan terang menunjukkan adanya dua rekening terkait BCI. Satu rekening, asli milik PT BCI, yakni bernomor 523.551.0016. Satu lagi,  rekening rekayasa jenis individual  bernomor 523.551.000. Dalam kronologis BPK, rekening rekayasa ini tertulis PT Centris International Bank (CIB).

"Jadi, sejak tahun 2000 sampai 2024 ini, BCI terus menerus difitnah dan dijadikan kambing hitam dalam kasus BLBI 1998," kata Andri Tedjadharma, pemegang saham BCI.

Audit BPK sebagai barang bukti yang telah disahkan majelis hakim, menjadi bukti kuat dan tidak terbantahkan lagi, bahwa BCI  tidak pernah menerima dana BLBI, satu rupiah pun.

Apalagi, hubungan hukum BCI dengan BI, sesungguhnya juga bukan pinjaman maupun bantuan. "BCI dengan BI terikat perjanjian jual beli promes nasabah senilai Rp492 milyar, disertai jaminan 452 hektar. Seperti tertuang dalam Akta 46," tegas Andri.

Berdasarkan bukti-bukti dari BPPN itu sendiri, pemegang saham BCI Andri Tedjadharma dapat mengetahui modus operandi penggelapan dana BLBI 1998, dan menjadikan BCI kambing hitam.

Andri menguraikan. Penggelapan dilakukan dengan pencairan dana BI ke rekening CIB. Baru setelah itu dibuatkan akte antara BCI dengan BI.

Contohnya, dana turun ke rekening CIB sebesar Rp239 milyar pada 6 Oktober 1997. Baru kemudian dibuatkan perjanjiannya tanggal 17 Oktober 1997. Contoh lainnya, pada 11 Desember BI mencairkan ke rekening CIB sebesar Rp159 milyar. Akte baru dibuat pada 9 Januari 1998.

"Angka-angka itu diarahkan oleh BI. Karena tidak mungkin suatu bank, apalagi BI sebagai bank sentral memberikan dana terlebih dahulu sebelum pengikatan perjanjian," pungkasnya.

Penulis:

Baca Juga