CBA: BI Diduga Gunakan Rekening Rekayasa dalam Penyaluran BLBI
Jakarta, satunusantaranews.co.id – Menutup tahun 2024, Center for Budget Analysis (CBA) membeberkan dugaan rekayasa penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 1998. Dalam temuannya, Bank Indonesia (BI) disebut menggunakan rekening khusus untuk mengalirkan dana secara tidak transparan. Selain itu, CBA juga menyoroti hilangnya sertifikat jaminan lahan seluas 452 hektar yang melibatkan BI dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Modus Rekayasa Rekening BLBI
Direktur CBA, Uchok Sky Khadafi, menjelaskan modus operandi rekening rekayasa yang digunakan oleh BI dalam program BLBI. Rekening ini disebut menjadi alat untuk memanipulasi transaksi keuangan antarbank.
"Rekening khusus ini digunakan untuk menampung uang negara yang masuk dan keluar dari BI secara tidak transparan," ujar Uchok dalam siaran pers, Senin (30/12).
Rekening tersebut diduga bekerja sama dengan sejumlah bank swasta untuk memfasilitasi transaksi kliring antarbank. Dalam praktiknya, uang tidak pernah benar-benar dipindahkan antara bank yang terlibat. Sebaliknya, transaksi dilakukan melalui rekening rekayasa, yang kemudian mengembalikan dana keesokan harinya dengan tambahan bunga tinggi.
"Skema ini berlangsung setiap hari dengan pola yang sama. Bank pembeli uang akan mengembalikan dana beserta bunga tinggi, sehingga menguntungkan pihak tertentu yang terlibat. Namun, negara mengalami kerugian besar akibat praktik ini," jelas Uchok.
Uchok menegaskan bahwa penyalahgunaan dana BLBI melalui skema semacam ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip akuntabilitas keuangan negara.
Sertifikat Lahan Jaminan Hilang
Selain rekayasa rekening, CBA juga mengungkap dugaan penggelapan sertifikat jaminan lahan seluas 452 hektar yang nilainya diperkirakan mencapai Rp350 miliar pada 1998. Lahan yang berlokasi di Cianjur, Jawa Barat, ini terdiri dari lima sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Varia Indo Permai, nasabah salah satu bank swasta.
Lima sertifikat tersebut telah dipasang hak tanggungan atas nama BI pada 1997. Namun, meskipun BI mengklaim telah menyerahkannya kepada BPPN pada 8 Mei 1998, Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta 1, Rofli Edi Purnomo, menyatakan bahwa DJKN tidak pernah menerima barang jaminan tersebut.
"Keberadaan sertifikat ini harus diungkap secara transparan. BI, BPPN, dan DJKN Kementerian Keuangan harus bertanggung jawab atas hilangnya sertifikat ini," tegas Uchok.
Desakan Investigasi
CBA mendesak agar pihak berwenang segera mengusut dua kasus besar ini. "Praktik seperti ini menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang di lembaga keuangan negara, terutama bank sentral yang seharusnya menjaga kepercayaan publik," ujar Uchok.
Ia berharap temuan ini menjadi perhatian serius untuk memastikan pengelolaan dana dan aset negara berjalan sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. "Investigasi yang menyeluruh harus dilakukan agar pihak-pihak yang bertanggung jawab mendapat sanksi tegas," pungkas Uchok.
CBA mengingatkan pentingnya langkah cepat dan tegas dari pemerintah untuk mencegah kasus serupa terulang. Selain menyelamatkan keuangan negara, investigasi ini juga diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi keuangan nasional.
Komentar