satunusantaranews, Jakarta – Kami selaku kuasa hukum dari warga masyarakat Kabupaten Banyumas yang mempunyai kepedulian dan keprihatinan atas aset Pemerintah Kabupaten Banyumas khususnya Kebondalem yang sudah bertahun-tahun lamanya kasusnya tidak kunjung selesai. Bahkan obyek perjanjian Tahun 1980 dan 1982 sampai saat ini belum ada kepastian hukum, karena diduga diambil alih pengelolaannya oleh PT. GCG, jelas Ananto Widagdo (17/11) saat dihubungi.
Oleh karenanya, lewat class action masyarakat mengajukan pengaduan atas adanya permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Banyumas yakni aset Pemerintah Kabupaten Banyumas yang diduga dikuasai atau diserobot oleh YW, Direktur PT. GCG (Teradu I), lanjutnya.
Dan patut diduga pula mendapatkan bantuan dari AH selaku Bupati Kabupaten Banyumas (Teradu II). Lantaran Bupati tidak segera mengambil alih atau meminta dikembalikan sebagai aset daerah.
Perlu diketahui Pemkab Banyumas memiliki aset tanah yang terletak di komplek Kebondalem, Kelurahan Purwokerto Lor, Kecamatan Purwokerto Timur seluas 3.400 m2 dan 3.171 m2. Jika keduanya ditotal luasnya menjadi 6.571 m2. Aset tanah milik Pemkab Banyumas tersebut telah dijadikan obyek perjanjian antara Pemkab Banyumas dengan pihak swasta PBCVB, yang tertuang dalam Surat Perjanjian tertanggal 22 Januari 1980 dengan lahan seluas 3.400 m2 dan Perjanjian tertanggal 21 Desember 1982 dengan lahan seluas 3.171 m2.
Atau dengan kata lain, PT. GCG sekarang yang menguasai aset-aset sebagaimana yang tercantum dalam Perjanjian tertanggal 22 Januari 1980 dan Perjanjian tertanggal 21 Desember 1982. Karena pada dasarnya PBCVB dan PT. GCG, dimiliki oleh satu owner, ujar Ananto.
Adapun materi pokok perjanjian tahun 1980 adalah Pemkab Banyumas memberikan ijin kepada PBCVB untuk membangun dan mengelola bangunan di atas tanah seluas 3.400 m2 yakni 29 unit toko berikut rumah tinggal di atasnya, serta Terminal Angkutan Kota termasuk kios dan los disekitarnya. Dengan perjanjian untuk jangka waktu 30 tahun terhitung sejak bangunan selesai dikerjakan.
Sedangkan dalam materi pokok perjanjian tahun 1982, Pemkab Banyumas memberikan ijin kepada PBCVB untuk membangun dan mengelola bangunan di atas tanah seluas 3.171 m2 yakni 22 unit toko berikut rumah tinggal di atasnya, termasu satu unit gedung bioskop atau gedung pertemuan dan 2 lapangan tenis. Dengan perjanjian untuk jangka waktu 30 tahun terhitung sejak bangunan selesai dikerjakan. Namun belakangan pembangunan gedung bioskop tidak terealisasi karena di Purwokerto sudah mempunyai Enam bioskop.
Bahwa dalam perjanjian-perjanjian tersebut mulai berlaku jika bangunan yang sudah disepakati selesai dibangun dalam waktu dua tahun. Artinya jika perjanjian tahun 1980 maka mulai berlaku tahun 1982, begitu pula perjanjian tahun 1982 maka mulai berlaku tahun 1984. Dengan demikian jika dua perjanjian tersebut terhitung sejak bangunan selesai dikerjakan maka perjanjian tahun 1980 seharusnya sudah berakhir masa berlakunya di tahun 2012. Sedangkan perjanjian tahun 1982 sudah berakhir masa berlakunya di tahun 2014, jelas Ananto Widagdo.
Faktanya, objek yang merupakan aset daerah itu malah dikuasai PT.GCG sejak 8 Desember 2016 berbarengan dengan adanya perjanjian antara Pemkab Banyumas dengan PT.GCG terkait Pelaksanaan Putusan Eksekusi.
Masyarakat Banyumas pun bertanya, ada apa dengan PT.GCG dengan Pemkab Banyumas sehingga PT.GCG berani menguasai dan bahkan merenovasi sampai dengan menyewakan kembali ke penyewa yang baru sampai 30 tahun kedepan lagi lamanya ? Bahkan anehnya sebagai perwakilan masyarakat Banyumas, DPRD Kab.Banyumas tidak dilibatkan dalam pembuatan Kesepakatan Bersama antara PT.GCG dengan Pemkab Banyumas yang di dalamnya turut di tanda tangani lima orang Jaksa Pengacara Negara, tegas Ananto kemudian.
Perlu diketahui pula, di atas tanah seluas 6.571 m2 kini telah berdiri 51 ruko yang seharusnya menjadi milik Pemkab Banyumas, namun dikuasai PT.CGC. Dan semua unit ruko tersebut oleh PT.GCG disewakan kepada orang-orang dengan setiap rukonya dihargai Rp.1.650.Miliar untuk masa sewa 30 tahun. Sehingga total hasil sewa ruko yang didapat oleh PT.GCG senila Rp.84.150 miliar.
Dengan begitu maka Pemkab Banyumas patut diduga telah kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya sebesar Rp.84.150 miliar selama 30 tahun, imbuhnya.
Bahkan anehnya AH selaku Bupati Banyumas tidak merasa dicurangi oleh PT.GCG, serta tidak ada gerakan dari Bupati Banyumas untuk segera melakukan penarikan aset dan mengelola aset tersebut.
Sehingga masyarakat Banyumas telah timbul kesan yang seolah-olah aset tanah Pemkab Banyumas berdasar pada perjanjian tahun 1980 dan 1982 yang total luasnya 6.571 m2 dianggap dalam tanah sengketa yang digugat di Pengadilan.
Padahal faktanya tanah yang menjadi sengketa tersebut bukan termasuk dalam perjanjian tahun 1980 dan 1982 melainkan perjanjian yang berbeda yaitu Perjanjian tertanggal 7 Maret 1986 antara PT.GCG dengan Pemkab Banyumas. Terbukti dengan adanya Hukuman Disiplin April 2020 dari Badan Pengawas Mahkmah Agung yang memberi sanksi kepada Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto karena melanggar SKB Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SK/IV/2009 – No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 Huruf C butir 10 jo PB MARI dan KY No. 02/PB/ MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 Pasal 19 ayat (3) huruf b, dan memberi hukuman kepada Panitera Pengadilan Negeri Purwokerto selaku eksekutor yang saat itu dan patut diduga salah dalam menentukan batas ukur, karena melanggar PP 53 Tahun 2010 Pasal 3 angka 9 dan Pasal 7 ayat (4) huruf c.
Kemudian pada tahun 2017, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Jawa Tengah dengan Nomor: 110/LHP/BPK/VIII.SMG/11/2017 tanggal 27 November 2017 merekomendasikan untuk melakukan pengukuran ulang atas Komplek Pertokoan Kebondalem, dan di tahun 2018 pengukuran tersebut menghasilkan Luas total objek perjanjian tanggal 22 Januari 1980 adalah 5.705 m2; Luas total objek perjanjian tanggal 21 Desember 1982 adalah 2.727 m2; Dan Luas total objek perjanjian tanggal 7 Maret 1986 adalah 19.365 m2.
Atas hasil pengukuran tersebut berbeda dengan hasil ukur yang dilakukan oleh Panitera Pengadilan Negeri Purwokerto pada tanggal 2 November 2016 dalam rangka pelaksanaan putusan putusan/eksekusi putusan Nomor: 46/Pdt.G/2007/PN.Pwt. Jo. Nomor: 88/Pdt.G/2008/PT.SMG. Jo. Nomor: 2443 K/Pdt/2008 Jo. Nomor: 530/PK/Pdt/2011 dengan hasil total seluas 19.422 m2.
Sedangkan berdasarkan surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas Nomor: 2496/02.33/X/2017 tanggal 19 Oktober 2018 hasil pengukuran dimaksud adalah seluas 22.652 m2 dan dalam Kesepakatan Bersama antara PT.GCG dengan Pemkab Banyumas tertanggal 8 Desember 2016 tertulis seluas 20.637 m2 untuk obyek sengketa sesuai amar putusan dengan batas-batas Sebelah Utara (Jalan Jend. Gatot Subroto); Sebelah Barat (Jalan KH. Syafei); Sebelah Selatan (Jalan KH. Syafei); dan Sebelah Timur (Jalan Letjend Suprapto).
Dimana batas-batas luasan dimaksud secara riil meliputi luasan objek perjanjian tanggal 22 Januari 1980, objek perjanjian tanggal 21 Desember 1982 dan objek perjanjian tanggal 7 Maret 1986. Bahwa faktanya pula dilapangan objek perjanjian 1980 dan 1982 seharusnya tidak termasuk dalam batas-batas luasan Kesepakatan Bersama tersebut.
Dari point-point di atas maka, Ananto Widagdo yang mewakili masyarakat Kabupaten Banyumas, menganggap telah terjadi kesesatan hukum yang dilakukan PT.GCG (Teradu I) dan AH Bupati Banyujas (Teradu II) dalam penyelesaian persoalan aset tanah Pemkab Banyumas.
Hal tersebut didukung dan diperkuat dengan adanya surat jawaban dari PBCVB yang ditanda tangani Peter Widiana, S.H.M.H tertanggal 26 Juni 2019 kepada Bupati Banyumas yang intinya menyatakan bahwa PBCVB merasa tidak perlu lagi menyerahkan secara riil atas objek perjanjian 1980 dan 1982 dikarenakan objek tersebut sudah diserahkan PBCVB kepada Bupati Banyumas melalui surat Nomor 02/BL/XII/83 tertanggal 6 Desember 1983.
Setelah memberikan pernyataan seperti itu, Peter Widiana, S.H., M.H. sebagai Direktur PBCVB ikut menyewakan aset Pemkab Banyumas menggunakan nama PT. GCG. Dengan bukti Peter dan Nining selaku Marketing menandatangani harga sewa ruko dengan penyewa-penyewa yang baru.
Perbuatan Para Teradu secara nyata dan jelas sangat merugikan Pemerintah Kabupaten Banyumas pada khususnya dan masyarakat Banyumas pada umumnya. Karena aset tanah Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam Perjanjian tahun 1980 dan 1982 sudah seharusnya menjadi aset dan sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Banyumas sejak tahun 2012 dan 2014.
Sementara itu, melalui Surat Menko Polhukam Nomor : UN-511/KM.00.03/3/2021 tertanggal 17 Maret 2021 telah dilakukan Undangan Rapat Koordinasi. Merujuk Peraturan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Nomor 4 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, dan Surat dari Ananto Widagdo, Purwokerto tertanggal 23 Januari 2021 perihal Pengaduan Masyarakat, terang Ananto Widagdo.
Para pihak yang diundang pada pertemuan tanggal 19 Maret 2021 di ruang Focus 1&2 Lantai 5, Royal Tulip Gunung Geulis Resort and Golf Bogor, Jakan Pasir Angin, Nagrak, Kec. Sukaraja, Bogor, Jawa Barat, guna membahas permasalahan pengaduan masyarakat terhadap konflik berlatarbelakang lahan yang berada di wilayah Kebon Dalem, Kab. Banyumas. Dipimpin oleh Asdep 4/V Kamtibmas.
Adapun mereka yang diundang Sekretaris Deputi V/Kamtibmas Kemenko Polhukam; Jamdatun Kejagung; Dir Tipikor Bareskrim Polri (menyampaikan tentang “Hasil penyelidikan atas permasalahan Aset Kebon Dalem di Purwokerto, Kab. Banyumas, Prov. Jawa Tengah”); Kabag Humas Kemenko Polhukam; Pemerintah Provinsi Jawa Tengah; Sekda Prov. Jawa Tengah; Kepala Kanwil BPN Prov. Jawa Tengah (menyampaikan tentang “Status lahan Aset Kebon Dalem di Purwokerto, Kab. Banyumas, Prov. Jawa Tengah”); Asdatun Kejati Prov. Jawa Tengah; Sekda Kab. Banyumas (menyampaikan tentang “Kronologis permasalahan Aset Kebon Dalem di Purwokerto, Kab. Banyumas, Prov. Jawa Tengah”); Kajari Kab. Banyumas; Kepala Kantor Pertanahan Kab. Banyumas; dan Ananto Widagdo, selaku Pelapor.
Leave a Comment