Demokrasi dan Ekonomi Pancasila Sudah Hilang, Kembalikan Arah Bangsa

Demokrasi dan Ekonomi Pancasila Sudah Hilang, Kembalikan Arah Bangsa
Demokrasi dan Ekonomi Pancasila Sudah Hilang, Kembalikan Arah Bangsa

satunusantaranews, Bandung - Sistem demokrasi dan ekonomi Pancasila sudah hilang, mari kita mengembalikan arah bangsa ini. Demikian tersirat ditegaskan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, saat Musyawarah Besar VII Himpunan Keluarga Massenrempulu (HIKMA) (4/12). Bertemakan 'Bersinergi di Era New Normal untuk Kemajuan Massenrempulu'.

Dijelaskannya bahwa sistem tata negara Indonesia secara mutlak ditentukan oleh satu entitas saja, yaitu partai politik. Dengan kata lain, sistem-sistem Pancasila tersebut tergantikan dengan demokrasi liberal dan ekonomi dengan corak kapitalistik.

"Mereka bersepakat untuk menciptakan aturan yang membatasi lahirnya calon-calon pemimpin nasional melalui aturan Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden," kata LaNyalla lagi.

Imbasnya, dalam dua kali Pilpres Indonesia hanya mampu memunculkan dua pasang calon yang berhadap hadapan dengan keras. Akibatnya terjadi polarisasi dan pembelahan di masyarakat yang sangat tajam. Dan itu masih kita rasakan sampai hari ini. Sungguh suatu yang merugikan kita sebagai bangsa, tuturnya.

Yang terjadi, Senator Jawa Timur itu melanjutkan, sesama anak bangsa saling melakukan persekusi, saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi.

"Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Tetapi lebih kepada tradisi bar-bar. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran," katanya.

Di mata LaNyalla, hal tersebut merupakan dampak buruk dari penerapan ambang batas pencalonan presiden dan pemilihan kepala daerah, di mana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan. Padahal ambang pencalonan presiden itu sama sekali tidak ada di dalam konstitusi.

"Yang ada adalah aturan ambang batas keterpilihan, di mana dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar," papar LaNyalla.

Menurut alumnus Universitas Brawijaya Malang itu, hal ini membuat potensi bangsa ini menjadi kerdil. Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten, tetapi kemunculannya dihalangi aturan main, yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya.

"Padahal, Indonesia punya banyak putra terbaik bangsa yang seharusnya menjadi alternatif calon pemimpin nasional, termasuk dari Keluarga Massenrempulu," tegas dia.

Pertanyaannya adalah desain siapakah ini? Siapa yang berkepentingan, atau siapa yang mengambil keuntungan dengan ricuhnya bangsa ini? Siapa yang mengambil manfaat dari lemahnya persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa? Siapakah yang memaksakan demokrasi liberal di Indonesia? Siapakah yang membuat Pancasila semakin terasing secara perlahan tapi pasti?

Inilah yang juga harus menjadi perhatian Himpunan Keluarga Massenrempulu dalam Mubes kali ini, sehingga HIKMA dapat mengambil peran kebangsaan yang lebih besar untuk Indonesia yang lebih baik. Kita harus berani bangkit, harus berani melakukan koreksi untuk tujuan Indonesia yang lebih baik.

"Untuk Indonesia yang lebih berdaulat dan berdikari, serta mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Termasuk, melakukan koreksi atas sistem ekonomi negara ini," tutur LaNyalla.

DPD RI akan berusaha sekuat tenaga memperjuangkan hal itu. Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila Himpunan Keluarga Massenrempulu juga memiliki agenda yang sama. Oleh karenanya, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengajak Keluarga Besar Himpunan Keluarga Massenrempulu (HIKMA) menemukan kembali arah perjalanan bangsa.

"Saatnya kita semua bersatu padu, saling bahu membahu. Kita bantu pemerintah menemukan arah yang tepat. Kita bantu percepatannya. Skala prioritas pembangunan dalam konteks penanganan dampak wabah ini harus kita kawal, jangan malah dijadikan bancakan dan ajang bisnis untuk kepentingan pribadi dan kelompok," tegas LaNyalla.

Baca Juga: Bertemu Ridwan Kamil, LaNyalla Singgung Capres Jalur Non Partai

Senator Jawa Timur itu juga memaparkan jati diri Suku Massenrempulu. Menurutnya, Suku Massenrempulu menganut paham hidup sederhana. Mereka hidup dari bertani, berdagang, menjadi pegawai dan sebagian lagi merantau ke Makassar, Toraja, Kendari, bahkan sampai ke kota-kota di luar Sulawesi, hingga luar negeri.

Mungkin karena tradisi sederhana itulah, akhirnya banyak melahirkan tokoh besar dan tokoh nasional. Termasuk juga melahirkan konglomerat, seperti Dinda Andi Rukman, ucap LaNyalla disambut aplaus peserta Mubes.

LaNyalla memandang tema Mubes kali ini memang sangat tepat, yaitu 'Bersinergi di Era New Normal untuk Kemajuan Massenrempulu'. Sebab, katanya, kata kunci bersinergi mutlak dilakukan di era dis-rupsi di segala bidang, yang diakibatkan badai pandemi Covid-19 yang memaksa dunia berubah dengan percepatan teknologi.

Dan untuk menghadapi hal itu, LaNyalla menilai pemerintah tidak akan mampu bekerja sendiri. Karena itu, hari ini Indonesia memanggil semua stakeholder bangsa ini untuk bersatu padu. Saling bahu membahu untuk berani bangkit.

Presiden sudah pernah menyampaikan bahwa ancaman resesi global adalah benar-benar nyata, bukan wacana lagi. Artinya, semua negara di dunia ini terganggu akibat dampak dari pandemi Covid-19. Dan semua negara akan menjalankan situasi New Normal. Gangguan akibat pandemi Covid-19 itu pasti berdampak pada siklus demand, suplay dan produksi, yang artinya belanja masyarakat akan menurun, papar LaNyalla.

Ada dua hal penyebabnya. Pertama, daya beli yang memang merosot karena naiknya tingkat kemiskinan, dan yang kedua, rencana belanja serta investasi yang ditahan oleh kelas menengah dan atas. Akibatnya, masyarakat dunia, termasuk Indonesia akan kembali ke teori kebutuhan dasar. Teori tentang hirarki kebutuhan manusia dalam bentuk piramida, di mana paling dasar adalah kebutuhan fisiologi.

"Atau dapat diartikan kebutuhan untuk bisa hidup. Dan untuk bisa hidup, harus ada makanan. Artinya, orang akan berpikir dan bertindak untuk bisa makan terlebih dahulu. Lupakan kebutuhan-kebutuhan yang lain," urai dia.

Itulah mengapa saat bertemu Presiden Jokowi dalam rangka konsultasi tahun 2020 di awal pandemi Covid, LaNyalla menyampaikan pentingnya bangsa ini segera memprioritaskan tiga ketahanan di masa pandemi.

"Pertama ketahanan sektor kesehatan. Kedua ketahanan sektor pangan dan ketiga ketahanan sektor sosial. Inilah sebenarnya tantangan kita, bagaimana dengan cepat kita bekerja untuk meningkatkan ketahanan tiga sektor tersebut," ucapnya.

Sebab, katanya, kalau ketahanan pangan kita lemah, lalu rakyat tidak bisa makan, apa yang akan terjadi? Bisa dibayangkan kerusakan di sektor ketahanan sosial.

"Kita harus cepat kembali kepada fitrah Republik ini sebagai negara agraris dan maritim dengan memperkuat sektor pangan," ujarnya.

LaNyalla juga mengajak semua elemen untuk menghentikan polemik-polemik yang memicu kegaduhan yang tidak perlu. Karena ketahanan sosial juga harus kita perkuat. Tanpa ketahanan sosial, tidak mungkin kita bisa bahu membahu untuk membangun ketahanan pangan dan kesehatan.

Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan LaNyalla selalu menekankan pentingnya kita membahas persoalan-persoalan yang fundamental. Persoalan-persoalan yang ada di sektor hulu, bukan persoalan di sektor hilir.

"Karena muara dari kelemahan kita sebagai bangsa ada di sektor hulu kita, yaitu persoalan fundamental bangsa ini, yang menyebabkan kita tidak kunjung dapat mewujudkan tujuan hakiki dari lahirnya bangsa ini, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," tuturnya.

Salah satu penyebabnya menurut LaNyalla karena semakin jauhnya bangsa ini meninggalkan DNA asli sejarah kelahirannya. Termasuk, semakin hilangnya nilai-nilai yang dicita-citakan para pendiri bangsa, baik dalam kehidupan, maupun dalam sistem tata negara kita.

"Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar sudah tidak nyambung lagi dengan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar hasil Amandemen 1999 hingga 2002 silam. Dan semakin tidak nyambung lagi dengan produk Undang-Undang yang diputuskan DPR bersama Pemerintah," tegas LaNyalla.

Untuk itu, LaNyalla mengajak Keluarga Besar HIKMA untuk bersama-sama ikut mengontrol dan mengawal arah perjalanan bangsa agar kembali ke jalan yang dicita-citakan para pendiri bangsa. "Mari kita kawal dan koreksi arah perjalanan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa," ajak LaNyalla.

Penulis: Bambang Priambodo
Editor: Nawasanga

Baca Juga