satunusantaranews, Jakarta – Demokrasi di Indonesia telah bergeser semangatnya. Demokrasi yang semula ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat’, telah bergeser menjadi, ‘Dari Rakyat, Oleh Parpol dan Presiden, Untuk Kekuasaan’. Penilaian itu disampaikan LaNyalla saat membuka Simposium Demokrasi
yang diselenggarakan oleh Progressive Democracy Watch bertema ‘Menggagas Strategi dan Aksi Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia’ (10/3).
Sebab, wadah ketatanegaraan Indonesia telah berubah sejak Amandemen 2002 silam. Jika sebelumnya, Rakyat memberikan mandat kepada Rakyat yang merupakan Para Hikmat, di Lembaga Tertinggi pemegang kedaulatan rakyat, untuk kemudian menyusun arah perjalanan bangsa, dan memilih mandataris untuk menjalankan demi rakyat, telah berubah total.
Menurut LaNyalla, saat ini kedaulatan rakyat hanya diberikan melalui Pemilu 5 tahun sekali kepada dua kelompok, legislatif dan presiden . “Dalam pemilu itu rakyat memilih partai politik dan memilih presiden secara langsung. Dimana masing-masing memiliki janji politik sendiri,” katanya.
Tidak ada lagi wadah yang utuh yang menampung semua elemen bangsa dalam ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Lembaga Tertinggi yang dahulu merupakan wujud kedaulatan rakyat yang terdiri dari berbagai golongan, agama dan etnis sebagai pemilik negara ini sudah dihapus, tambahnya.
“DPD RI sebagai representasi daerah juga tidak memiliki ruang. Karena, kewenangan yang diberikan konstitusi sangat terbatas,” urainya.
Hasil dari Amandemen saat itu memang memberi kekuasaan yang sangat besar kepada Partai Politik dan Presiden saja. Apa yang didalilkan bahwa Legislatif menjadi sarana check and balances terhadap Eksekutif nyatanya tidak terjadi. Sebab, lanjut LaNyalla, koalisi mayoritas Partai Politik berada di lingkar kekuasaan bersama pemerintah.
“Yang terjadi justru, DPR menjadi alat untuk mempercepat persetujuan atas Rancangan Undang-Undang maupun PERPPU yang diajukan Pemerintah. Termasuk melahirkan UU yang secara langsung maupun tidak langsung menguntungkan kelompok dan elit penguasa ekonomi di lingkaran kekuasaan,” tegas dia.
Karena Partai Politik mendapat kekuasaan sangat besar. Mereka menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden, yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih. “Sehingga yang terjadi, Presiden menjadi petugas partai, bukan petugas rakyat,” imbuhnya.
Dikatakan LaNyalla, Amandemen Konstitusi tahun 2002 membuat cita-cita demokrasi sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat jauh dari kenyataan. Karena bangsa ini pada kenyataanya malah meninggalkan Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila sebagai pilihan luhur yang sesuai dengan watak dan karakteristik bangsa majemuk ini.
“Dalam sistem Demokrasi Pancasila, rakyat memberikan mandat dan kedaulatannya kepada rakyat pilihan yang duduk di Lembaga Tertinggi Negara. Mereka dari unsur partai politik, ada Fraksi ABRI (TNI-Polri), utusan daerah dan utusan golongan. Kemudian menyusun arah perjalanan bangsa dan memilih mandataris rakyat, yaitu seorang Presiden, untuk menjalankan arah yang telah disusun,” kata LaNyalla.
“Karena itulah Presiden terpilih adalah seorang Mandataris Rakyat alias petugas rakyat. Sehingga benar-benar tercipta apa yang disebut, ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’,” sambungnya.
Demikian juga dengan Sistem Ekonomi Pancasila. Dimana perekonomian disusun atas azas kekeluargaan, dengan mengutamakan hajat hidup orang banyak, dengan memastikan kekayaan yang ada dikuasai oleh negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat.
“Makanya ekonomi disusun dengan tiga Palka yang saling memiliki garis demarkasi. Yaitu Koperasi atau Usaha Rakyat, Badan Usaha Milik Negara dan Swasta Nasional, maupun Asing. Ketiganya tidak saling bersaing tapi diatur dengan semangat yang termaktub di dalam Pasal 33 UUD 1945 Naskah Asli,” ucap dia.
Oleh karena itu, LaNyalla menyarankan kepada semua elemen bangsa, termasuk aktivis di Prodewa untuk menyelami kembali suasana kebatinan dan pemikiran luhur para pendiri bangsa kita.
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Apalagi secara sadar membiarkan bangsa ini tercerabut dari akar dan budayanya. Jangan biarkan bangsa ini terpisah dari ideologi bangsanya. Karena kita memiliki peradaban unggul yang dilahirkan dari kejayaan Kerajaan dan Kesultanan Nusantara. Kita adalah bangsa yang memiliki Mutiara Pancasila,” tegasnya.
Hadir dalam acara itu Direktur Nasional Progressive Democracy Watch (Prodewa) M. Fauzan Irvan, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, Ketua KPK, Firli Bahuri, para pegiat LSM dan mahasiswa.
Leave a Comment