Nasional

Demokrasi Sudah Kebablasan Cenderung Tidak Demokatis dan Mempertanyakan Kualitas Demokrasi

satunusantaranews, Bogor – Sejak era reformasi bergulir hingga kini telah terjadi perkembangan demokrasi yang luar biasa, bahkan terkategori melampaui batas. Karenanya, banyak elemen bangsa ini menilai demokrasi saat ini sudah kebablasan dan akhirnya cenderung tidak demokatis lagi, setidaknya dipertanyakan kualitas demokrasinya.

“Dinamika demokrasi yang terjadi saat ini memang mengandung dua sisi: positif dan negatif. Salah satu satu sisi positifnya adalah lahirnya lembaga tinggi negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), pengganti Utusan Daerah yang menjadi komponen anggota MPR RI,” tegas M. Syukur, di hadapan peserta Training of Trainer (ToT) dari berbagai elemen kampus di Hotel Horison Bogor Icon (21/11) .

Seperti kita ketahui, lanjut anggota DPD RI asal Provinsi Jambi, empat anggota DPD RI dari setiap provinsi dipilih secara langsung oleh rakyat, melalui sistem pemilihan umum legislatif dan itu beda dengan Utusan Daerah yang bersifat penunjukkan oleh Pemerintahan Provinsi. Karena itu, posisi politik dan keberadaan para anggota DPD RI jelas-jelas melalui mekanisme politik demokratis.

Namun demikian, dinamika demokrasi yang berkembang saat ini di negeri ini juga memgalami deviasi yang cukup memprihatinkan. M. Syukur, anggota DPD RI sejak 2009 itu mencontohkan spirit pemilihan presiden, dimana ia dipilih secara langsung oleh rakyat. Landasan filosofis perubahan sistem pemilihan presiden itu bagus, yakni agar seluruh elemen rakyat merasakan hak politiknya (memilih dan dipilih) terakomodasi secara konstitusional.

“Namun, ketika bicara prosedur pemilihan calon pasangan presiden yang harus diusung partai politik dan atau gabungan partai politik sebagaimana yang digariskan Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945, hal ini menjadi persoalan politik tersendiri”, ujar M. Syukur saat membuka acara ToT yang diselenggarakan MPR RI bekerjasama dengan Organisasi Kepemudaan Garuda Muda Indonesia.

Di hadapan kalangan pemuda peserta ToT itu, Syukur menggaris-bawahi bawahi, partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi dan karenanya harus dirawat. Namun, adalah hak setiap warga negara yang ingin memilih dan atau dililih untuk tidak berpartai politik. Karena itu, negara melalui konstitusi, harus memberikan ruang bagi warga negara yang tidak berpartai politik manakala dirinya ingin maju sebagai calon presiden (capres).

Inilah ruang demokrasi yang harus dibuka, bukan sebaliknya. Atas nama dan atau kualitas demokrasi yang lebih berkualitas, calon nonpartai haruslah mendapat ruang untuk capres, seperti halnya calon gubernur atau calon bupati dan calon walikota independen (non partai).

“Ketika calon independen untuk cagub atau cabup/cawalkot diberi ruang menurut UU Pemilu, mengapa untuk ruang yang sama tidak diberikan untuk capres”, tanya Syukur.

Ada logika politik pemilihan pimpinan yang tidak konsisten. Inkonsitensi ini haruslah direvisi, apakah melalui amandemen Pasal 6A Ayat 2 itu, atau nereview salah satu pasal UU Pemilu yang terkait dengan prosedur pilpres.

Review terhadap salah satu pasal pada UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 – tambah Syukur – menjadi sangat krusial. Karena, terdapat persyaratan prosentase minimal (20%) bagi pasangan capres-cawapres sebagai petunjuk teknis Pasal 6A ayat 2 UUD 1945.

Ketentuan ambang batas (presidential threshold ) atau yang sering disingkat PT ini menambah lagi problem kualitas demokrasi. Sebab, ketentuan PT menambah pembetasan kepesertaan capres.

Jika ketentuan PT masih dijadikan prosedur yang harus diikuti oleh Komisi Penyeleggaraan Pemilihan Umum (KPU), maka kontestasi piplres tahun 2024 ini diperkirakan hanya satu pasangan capres-cawapres. Hal ini jika koalisi yang terjadi hari ini tidak berubah.

Sebuah pertanyaan mendasar, jika, atas nama demokrasi, lalu kontestasi pilpres dijawab dengan kotak kosong dan ternyata kotak kosong pemenang, bagaimana nasib tata negara ke depan? Akan seperti apa sebuah negara yang dihasilkan oleh hasil politik kotak kosong? Memprihatinkan dan karena itu harus dicegah potensi tak sehat itu, tegas Syukur.

Memang, tambahnya, hasil kontentasi politik tersebut juga merupakan hasil demokrasi. Tapi, masa yo, hasil demokrasi seperti itu yang dikehendaki? Sesuai prinsip, mekanisme demokrasi dirancang untuk menghasilkan calon pemimpin yang terbaik dan kredibel. Karena itu, menjadi krusial pula untuk mengubah serangkaian proses politik yang memandulkan demokrasi dan tujuan utama kontestasi pilpres itu.

“Karena itu, DPD RI sesuai dengan suara kebanyakan berbagai elemen masyarakat sepakat untuk menihilkan (0%) PT, karena ketenuan ini dinilai sangat tidak produktif bagi kepentingan demokrasi. Jika suara ini diakomodasi secara konstitusional, maka sudah pada tempatnya calon perseorangan diberi ruang yang sama seperti partai politik. Sekali lagi, hal ini bukan untuk kepentingan DPD semata, tapi untuk seluruh pihak yang menghndaki demokrasi yang lebih berkualitas”, pungkasnya.

Leave a Comment
Published by
Kahfi SNN