satunusantaranews, Jakarta — Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak mendesak Pemerintah menyampaikan road map kebijakan swasembada gula nasional ke DPR sebelum terbentuknya holding pabrik gula Sugar Company atau SugarCo. Upaya swasembada gula nasional hanya bisa dilaksanakan jika persoalan industri gula nasional diselesaikan dari hulu hingga ke hilir (21/9).
“Hal itu terkait erat dengan kemampuan daya saing gula domestik dan keberlanjutan produksi bahan baku di dalam negeri,” tegasnya.
Pembenahan industri gula nasional harus dituangkan dalam kebijakan yang tegas, disusun dengan matang dan komitmen yang kuat agar tidak muncul masalah di kemudian hari. Tanpa bermaksud pesimistis, kata Amin, jangan sampai pembentukan SugarCo berujung pada penjualan aset negara yang dikelola BUMN terkait. Juga jangan sampai terus membebani negara karena sering meminta penyertaan modal negara (PMN).
Demikian mengemuka saat Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI dengan Dirut PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), Dirut PT. Perkebunan Nusantara II, Dirut PT. Perkebunan Nusantara VII, Dirut PT. Perkebunan Nusantara IX, Dirut PT. Perkebunan Nusantara X, Dirut PT.
Perkebunan Nusantara XI, Dirut PT. Perkebunan Nusantara XII, Dirut PT. Perkebunan Nusantara XIV, terkait Progres Pembentukan Holding Pabrik Gula (SugarCo).
Sebagaimana diketahui, Induk Holding PTPN Group, PT Perkebunan Nusantara III (Persero) berencana membentuk PT SugarCo dengan proyeksi investasi sebesar Rp23 triliun. SugarCo nantinya merupakan gabungan seluruh pabrik gula milik negara yakni PTPN II, PTPN VII (PT BCAN), PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII (PT IGG), dan PTPN XIV. Pembentukan SugarCo akan dimulai dengan spin-off aset pabrik gula secara utang. Selanjutnya, PTPN Group akan melakukan divestasi saham kepada investor yang berminat maksimal 49%.
Menurut Amin, kebijakan yang tidak tegas menjadi pangkal persoalan pergulaan saat ini. Ia menyontohkan, dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Pasal 74 disebutkan bahwa setiap unit pengolahan hasil perkebunan tertentu yang berbahan baku impor, wajib membangun kebun paling lambat tiga tahun setelah pusat pengolahannya beroperasi. Namun, aturan itu kemudian dianulir dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja.
Dalam aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2021 Pasal 30 ayat 2 disebutkan unit pengolahan gula tebu berbahan baku impor dalam ketentuan ini tidak termasuk unit pengolahan gula rafinasi. Akibat kebijakan ini, kata Amin, para importir raw sugar itu terbebas dari kewajiban membangun perkebunan meskipun telah beroperasi puluhan tahun.
Lantas, bagaimana perusahaan gula BUMN bisa bersaing dengan aturan seperti itu, dan bagaimana swasembada gula bisa dicapai?, tanyanya. Lebih lanjut Amin mengatakan, untuk menambal defisit neraca gula harus dimulai dengan komitmen perluasan wilayah penanaman tebu. Setidaknya kita memerlukan 400.000 bahkan sampai 700.000 hektare lahan untuk mencapai target tersebut.
Wakil Rakyat dari Jatim IV itu juga menegaskan pentingnya terobosan teknologi untuk meningkatkan produktivitas tebu nasional yang setiap tahun kecenderungannya mengalami penurunan hingga hanya menghasilkan 2,1 juta ton pada 2020.
Kebijakan soal harga tebu pun tak kalah penting, karena kebijakan harga acuan kerap tak berjalan di lapangan karena tidak ada lembaga yang mengimplementasikan penindakan (enforcement).
Sebagaimana diketahui, rata-rata produksi gula nasional saat ini hanya berkisar 2,2 juta ton per tahun. Adapun kebutuhan gula konsumsi rumah tangga per tahun mencapai sekitar 2,8 juta ton dan untuk industri 3,62 juta ton. Artinya kebutuhan impor bisa mencapai 4,22 juta ton setiap tahunnya.
“Impor pada tahap tertentu masih dibutuhkan, terutama untuk menjaga stabilitas harga. Namun pemerintah harus berani menjaga keseimbangan pasar kepentingan dalam negeri terutama keberlanjutan produksi dalam negeri dan kesejahteraan petani,” tukasnya.
Leave a Comment