Ditengah Pusaran Malari
satunusantaranews, Jakarta - Lima belas Januari 1974. Siang itu, rapat dewan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di kampus Universitas Trisakti ditutup, dipercepat karena hembusan berita terjadinya kerusuhan di beberapa wilayah Jakarta. Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI, segera memutuskan segera kembali ke kampus UI di Salemba. Ia didampingi dua aktivis mahasiswa UI lainnya: Sylvia Tiwon dan Ibrahim G. Zakir. Mereka mengendarai “mobil khusus DMUI”. "…Hariman minta diantar secepatnya ke Salemba. Bertiga, dengan Bram Zakir, kami meluncur ke kampus UI, masing-masing dengan diam dengan bayangan sendiri, mencoba memahami berita bahwa wilayah Senen sedang dilanda kerusuhan besar-besaran, dengan massa yang entah datang dari mana, membakar mobil, merusak gedung.”
Kenangan itu masih tertancap kuat dalam ingatan Sylvia Tiwon. “Hariman yang tak pernah menyukai atribut apapun, melepas jaket kuning dan lencana Ketua DMUI. Di depan RSCM, Jalan Diponegoro, sudah dipenuhi massa sehingga mobil tak dapat memasuki halaman kampus UI. Sebelum kami sempat memutuskan untuk balik arah memasuki halaman parkir rumah sakit, Hariman sudah lompat keluar dan lari—sendiri—menuju perempatan Diponegoro—Salemba. Barangkali imagi Hariman inilah yang tak akan lepas dari ingatan: seorang anak muda berdiri di tengah jalan, tangan melambai-lambai, berusaha menghentikan massa truk penuh massa manusia yang mengalir ke arah Senen. Tak lama kemudian, ia hilang dari penglihatan, tertelan jejalan orang yang semakin berbondong…….”
Ketika hari memasuki malam, sirine ambulans 118 terus meraung bolak-balik dari berbagai lokasi ke Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RS-CM). Suara tembakan masih ter---dengar sampai pukul 20.00, ter-utama di sekitar Salemba dan Se-nen. Jam malam sesungguhnya sudah diumumkan berlaku sejak pukul 18.00 hingga pukul 6.00 pagi. Tapi, massa masih memadati jalan sepanjang Matraman, Salemba, dan Kramat Raya.
Selasa malam itu, dua orang lagi tewas di depan kantor Departemen Pertanian. Mereka tertembak peluru aparat keamanan yang berupaya membubarkan kerumuman massa. Baru pukul 1 dinihari kemudian mayatnya bisa diangkut oleh ambulans ke kamar jenazah RSCM.
Jakarta terbakar. Dua hari berturut-turut: sejak Selasa (15 Januari) hingga Rabu (16 Januari). Asap mengepul di hampir setengah bagian kota. Mulai dari Roxy (di Jakarta Barat), Cempaka Putih dan Bypass (di Jakarta Pusat), Glodok (Jakart Barat), hingga Jalan Sudirman dan Matraman (di Jakarta Selatan). Api paling besar melahap pusat pertokoan di kawasan Senen (Jakarta Pusat) yang dibangun tahun 1967 dengan dana Rp 2,7 miliar. Dua blok bangunannya yang berlantai empat berisi 700 toko, 3 bank (BBD, BNI 46, dan BPD Jaya), satu klub malam, taman ria anak-anak, fasilitas sauna, tempat permainan bowling, dan unit perkantoran PT Pem-bangunan Jaya gosong disapu si jago merah.
Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean, kepada sidang pleno DPR yan digelar 21 Januari 1974, melaporkan sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 buah gedung rusak atau terbakar (termasuk pabrik Coca Cola), dan 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Dalam kerusuhan dua hari itu jatuh korban 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 mengalami luka ringan, dan 775 orang ditangkap.
Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, saat memberi penjelasan di hadapan guru-guru se-Jakarta yang juga dihadiri oleh Wapang Kopkamtib Laksamana Sudomo serta Muspida Jakarta di gedung Jakarta Theater, 19 Januari, menyebut angka-angka berbeda: 522 buah mobil dirusak dengan 269 di antaranya dibakar, 137 buah motor dirusak (94 buah dibakar), 5 buah bangunan dibakar ludes termasuk 2 blok proyek Pasar Senen bertingkat 4 serta gedung milik PT Astra di jalan Sudirman, juga 113 buah bangunan lainnya dirusak.
Mengenai pembakaran dan pengrusakan pada Peristiwa Malari itu, Hariman Siregar mengatakan “Berbagai aksi pemba-karan dan pengrusakan oleh massa itu sudah di luar kendali mahasiswa. Begitu sore hari ada kebakaran di Pasar Senen, saya sudah mikir pasti ada yang menunggangi aksi mahasiswa.”
Hari itu, 15 Januari 1974, sejak pagi hingga sore mahasiswa Jakarta, Bogor, Bandung didukung pelajar sibuk melakukan demonstrasi. Mereka berjalan dari Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat, menuju Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Sebagian tokohnya sudah kelelahan karena ber-demonstrasi menyambut kedatangan PM Jepang, Tanaka, pada Senin malam. “Siangnya, karena capek saya pulang bareng Djodi Wuryantoro naik motor, baru jam 4 sore ditelepon Hariman. Katanya ada bakar-bakaran,” kisah Gurmilang Kartasasmita, salah satu pimpinan rombongan dari UI hari itu.
Mimbar bebas di Trisakti sebagai bagian dari apel mahasiswa belum usai benar sesungguhnya ketika Gurmilang pulang. “Saya juga pulang duluan ke kost dekat kampus di Grogol, ka-rena memang sudah ngantuk sekali,” ujar Jesse A. Monintja, mantan aktivis KAPPI yang kala itu tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Trisakti. Ia baru tahu adanya huru-hara sete-lah seorang kawannya menggedor pintu kamar. Jesse bergegas menuju Balai Budaya, tempat ia biasa berkumpul dengan aktivis lain, dan bertemu Fikri Jufri (wartawan Tempo). Keduanya lalu berboncengan skuter melihat situasi. “Intinya, kami tidak tahu sama sekali bagaimana kerusuhan bisa terjadi,” timpal Judilherry Justam, mantan Sekjen Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI).
Judil adalah pemimpin rombongan paling depan dalam long march UI—Trisakti. Ia bertahan mengikuti acara apel betul-betul kelar. Menjelang acara berakhir, tersiar desas-desus tentang adanya kendaraan dirusak dan dibakar di beberapa jalan. Situasi agak menegang di sebagian mahasiswa.
Selewat tengah hari, ma-hasiswa memutuskan kembali ke UI menumpang truk-truk yang dihentikan. Ketika tiba di jalan dekat Museum Nasional, jalanan sudah ditutup tentara. Truk lalu dibelokkan ke Harmoni dan Jalan Juanda. Namun, sepanjang Harmoni menuju Senen waktu itu belum terjadi apa-apa. Setiba di kampus, baru didengar kabar: Senen dibakar. Mahasiswa pun memilih bertahan di kampus, seorang pun tidak diijinkan keluar.
Menurut catatan mantan Rektor UI, Prof. Mahar Mar-djono, bakar-bakaran sudah terjadi sekitar pukul 11.00 WIB. Saat mahasiswa dari berbagai universitas masih melakukan apel akbar di Trisakti. “Sekelompok mahasiswa lain—yang diduga mendapatkan janji-janji insentif material dan jabatan dari kelompok Ali Moertopo—bersama sejumlah massa telah mulai melakukan se-jumlah pengrusakan di bagian kota lain (seperti Pasar Senen, Harmoni dan Jalan Juanda),” tutur Mahar Mardjono.
Persiapan apel akbar itu berlangsung sejak pagi. Sejak pukul 8.00 sudah banyak mahasiswa berkumpul di halaman Fakulas Kedokteran UI. Selain UI, mahasiswa datang diantaranya dari Universitas Kristen Indonesia, Universitas Trisakti, Universitas Atmajaya, Universitas Nasional, Universitas Jayabaya, IKIP Jakarta, Universitas Pancasila, IAIN, Universitas Krisnadwipayana dan Sekolah Tinggi Olahraga. Datang pula beberapa truk yang mengangkut pelajar yang diorganisir oleh Jusuf A.R. dan Jesse A. Monintja. Mereka berasal dari 5 rayon eks-pasukan gabungan KAPPI Jakarta Pusat. Menjelang berangkat, upacara singkat dilakukan. Meja-meja ditumpuk menjadi mimbar. “(Soal ini) saya pernah berseloroh kepada Hariman, kalau mahasiswa 74 mau buat patung seperti mahasiswa 66, simbolnya meja yang ditumpuk,” kata Sugeng Sarjadi, mantan mahasiswa ITB.
Saat upacara menjelang berangkat, sebuah helikopter terbang rendah berkeliling di atas kampus. Raungan suaranya ditimpali teriakan mahasiswa, “kami bukan makar.” Sementara di luar pagar, polisi telah menjaga ketat.
Lalu barisan mulai bergerak. Seluruhnya sekitar 500-an orang dibagi dalam beberapa barisan. Judilherry berada di barisan muka. Didahului oleh barisan yang memakai tameng bergambar tengkorak lalu saf berbendera merah putih. Disusul rombongan yang dipimpin oleh Gurmilang Kartasasmita. Hariman sendiri ada di barisan ketiga bersama Eko Djatmiko dan Salim Hutadjulu. Paling belakang adalah beberapa truk yang melaju dengan kecepatan rendah. Bambang Sulistomo dengan pengeras suara berteriak, “Aksi mahasiswa bukan makar.” Sementara poster-poster diben-tangkan, diantaranya bertulis, “Get Out Japan”, “Menerima Tanaka=Menerima Kolonialis”, “Tolak Dominasi Eko-nomi Jepang”, “Ganyang Antek-antek Kolonialis Jepang”, “Meng-himpun Ke-kuatan Budak-budak Kapitalis Jepang=Makar” dan “Mahasiswa Militan, Tanaka You Genit, deh. Bagero”.
Rute yang ditempuh: UI-Kramat Raya-Raden Saleh-Gedung LIA Cikini-Tugu Tani-Merdeka Selatan. Di Jalan Merdeka Selatan ini sebagian peserta long march sempat menurunkan ben-dera Jepang yang berdampingan dengan bendera Merah Putih. “Jangan dirusak, asal turun dan bawa saja,” seru pemimpin rom-bongan melalui pengeras suara.
Tentara dari berbagai kesatuan lengkap dengan kendaraan lapis baja telah menjaga ketat jalan menuju Monumen Nasional. Wakil Panglima Kopkamtib, Laksamana Sudomo, telah menam-bah dua batalyon pasukan untuk menjaga sekeliling istana. Penjagaan ketat juga dilakukan di kantor Wapres Sri Sultan Hameng-kubuwono. Mahasiswa gagal menurunkan bendera men-jadi setengah tiang di sini. Tetapi sukses di Balai Kota Gubernur, sehingga mereka bersorak kegirangan.
Perjalanan berlanjut ke Jalan Merdeka Barat. Di jalan ini Kopkamtib dan Menteri Pertahanan berkantor. Di dalamnya tengah berlangsung rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Pemimpin rapat adalah Ketua Wanjakti yang juga Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean. Diikuti antara lain oleh wakilnya, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, dan Jenderal Soerono.
Di depan kantor Mabes ABRI/Dephankam, beberapa mahasiswa sempat beraksi. “Massa mahasiswa ketika itu berani-berani. Sampai ada yang nekad masuk halaman Mabes ABRI/Dephankam dan menurunkan bendera menjadi setengah tiang. Akibatnya, mereka dikejar-kejar tentara yang jaga,” kata Jopie Lasut.
Dari Merdeka Barat, lalu belok ke kiri melalui Museum Nasional. “Di sini kalau jalan terus menuju Jalan Tanah Abang II seperti rute yang ditetapkan, tapi saya belokkan sebentar ke Tanah Abang III,” kisah Judilherry. Di Tanah Abang III ini terdapat kantor Golkar. “Tidak ada polisi yang jaga. Pucat semua orang-orang di sana ketika kami datang. Kita maki-maki Golkar di situ.”
Hanya beberapa menit di sana, sekadar bernyanyi “Aspri dan komisi”, rombongan besar itu menuju Cideng, kemudian Roxy, dan kira-kira pukul 10.30 sudah tiba di kampus Trisakti. Di sini, apel akbar digelar: orasi, puisi, bernyanyi dan memaki-maki boneka yang digambarkan sebagai Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto.
Manakala mahasiswa sudah kembali ke kampus masing-masing, asap tebal sudah mengepul dari berbagai titik di pusat kota. Keletihan melanda Hariman. Jam tidurnya telah berkurang banyak pada beberapa hari terakhir. Semalaman itu pun matanya baru terlelap dua-tiga jam, karena memimpin rapat sampai tengah malam, sebelum akhirnya dialihkan kepada Gurmilang. Menjelang terlelap, Hariman sudah membayangkan peristiwa yang terjadi keesokan harinya.
Memang keesokan harinya Rabu, 16 Januari, kerusuhan masih berlanjut. Larangan berkumpul di siang hari tidak ditaati massa. Pengumuman dan maklumat yang dikeluarkan Laksus Kopkamtib Jaya, tertanggal 15 Januari 1974, tumpul karena massa tetap berkerumun di jalan. Beberapa rumah petinggi dikepung, diantaranya rumah Ali Moertopo di Matraman dan rumah Soe-djono Hoemardani. Beberapa bangunan di Jalan Blora dibakar; gedung Pertamina di Kramat Raya yang diserbu massa, isinya dikeluarkan dan dibakar, mobil-mobil yang ada di kantor gedung itu pun dibakar.
Hampir seluruh petinggi ABRI pun turun ke jalan pada hari Rabu itu. Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean mendatangi kerumunan massa di Kramat Raya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro juga beredar di jalanan. Begitu juga Kepala Kepolisian Daerah Jakarta, Mayjen Pol. Widodo Budidarmo. Reaksi mereka seolah melengkapi ketidakhadiran malam sebelumnya di Istana Merdeka, tempat jamuan makan malam bersama PM Jepang, Kakuei Tanaka, diselenggarakan. Dari 68 undangan, makan malam itu hanya dihadiri oleh 17 orang.
Siang hari, Jenderal Soemitro memberikan keterangan pers di-dampingi oleh Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, Wapangkopkamtib Sudomo dan petinggi-petinggi ABRI lainnya. Ia mengumumkan akan dilakukannya sejumlah penangkapan. “Keadaan telah memaksa kami yang telah sabar sampai batasnya, terpaksa bertindak keras dan di sana sini dengan mempergunakan kekerasan,” ancam Soemitro. “Siapa pun dan kepada kekuatan sosial apapun bentuknya, yang masih belum mengerti keadaan se-karang dan membantu secara langsung maupun tidak langsung menambah ketegangan yang ada, kami terpaksa akan bertindak tegas. Dan, hal ini sudah cukup kami pertanggungjawabkan ter-hadap hati nurani kami.”
Serangkaian penangkapan memang betul-betul dilakukan. Hari-man Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Theo L. Sambuaga, Bambang Su-listomo, Purnama Munthe, dan Salim Hutadjulu merupakan nama-nama yang masuk dalam gelombang penangkapan pertama. Lalu disusul Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Penangkapan berikutnya dilakukan kepada Fahmi Idris, Marsillam Si-mandjuntak, Adnan Buyung Nasution, H.J.C. Princen, Imam Waluyo, Jusuf A.R., Jesse A. Monintja, Laksamana Muda Mardanus. Sejumlah tokoh yang dikaitkan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pun ditangkap, yakni: Prof. Sarbini Sumawinata (yang juga mertua Hariman), Soebadio Sastrosatomo dan Moerdianto. Gelombang berikutnya adalah Sjahrir, Rahman Tolleng, Soemarno, dan Ramadi. Terakhir yang ditangkap adalah Mochtar Lubis, pemimpin harian Indonesia Raya yang penerbitannya kemudian ditutup selamanya oleh rejim Orde Baru.
Menanggapi kerusuhan yang meluas tersebut, Hariman Siregar tampil ke depan. Dalam pernyataan yang disiarkan lang-sung oleh TVRI, malam hari 16 Januari 1974, Hariman mengatakan bahwa DMUI me-ngu-tuk tindakan perusakan dan huru-hara yang terjadi. Ia menjelaskan bahwa aspirasi DMUI sudah jelas. Dan ini bisa dibedakan dengan tindakan kerusuhan yang dilakukan pemuda karena punya program. “Kami menyesalkan tindakan kerusuhan tersebut. Ka-rena ekses-eksesnya mengaburkan perjuangan kami kepada pe-merintah,” tegas Hariman. Setelah membacakan pernyataan itu, Hariman langsung ditahan oleh aparat keamanan.
Sikap mahasiswa itu kembali ditegaskan lewat pernyataan Dewan Mahasiswa se-Jakarta yang dikeluarkan, sehari setelah kerusuhan terjadi. Dalam pernyataan itu dinyatakan bahwa: 1) tindakan pengrusakan yang telah dilakukan massa adalah tindakan destruktif, tidak bertanggungjawab, dan mengarah anarkhis, dan nyata-nyata merusak citra mahasiswa; 2) mahasiswa menyesalkan dan menyatakan prihatin atas kejadian yang telah menyebabkan kerugian material dan moral itu; 3) diserukan kepada seluruh mahasiswa untuk siaga di tempat, tetap memelihara ketertiban dan tidak terpancing oleh provokasi; 4) diserukan kepada ma-syarakat agar mereka menjaga ketertiban demi tercapainya aspirasi perjuangan mahasiswa yang murni.
Komentar