satunusantaranews, Jakarta – Panitia Perancang Undang-undang (PPUU) DPD RI menilai perkembangan era globalisasi dan perdagangan bebas, belum diakomodir di dalam Undang-undang (UU) No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk itu diperlukan payung hukum yang mengatur perlindungan konsumen atau data pribadi dalam menghadapi perkembangan teknologi dan globalisasi.
“Secara sosiologis perkembangan masyarakat terkait teknologi digital dan pelaku usaha sudah berkembang dilakukan secara elektronik tanpa batasan waktu dan lokasi. Maka UU tentang Perlindungan Konsumen perlu mengantisipasi perkembangan bisnis 10-20 tahun ke depan yang mendasarkan kegiatannya pada big data, artificial intelligent, dan connectivity,” ucap Wakil Ketua PPUU DPD RI Eni Sumarni saat Rapat Dengar Pendapat dengan BPKN dan YLKI, Jakarta (24/6).
Untuk melindungi konsumen maka diperlukan perlindungan data pribadi. Meningkatnya transaksi secara elektronik dengan data sebagai basis aksesnya menyebabkan perlu ada upaya yang kuat untuk melindungi data pribadi.
“Semoga penyelesaian RUU Perlindungan Data Pribadi disahkan pada tahun ini oleh DPR RI,” harapnya.
PPUU DPD RI juga berharap ke depan penguatan dan penataan sistem kelembagaan perlindungan konsumen bisa terlaksana.
“Perlunya pengaturan secara khusus lembaga yang berwenang untuk memberikan perlindungan konsumen,” ujar Eni Sumarni.
Sementara itu, Anggota DPD RI asal Provinsi Sumatera Barat Muslim M Yatim mempertanyakan bagaimana membedakan label halal yang asli atau bukan. Lantaran, ada isu yang berkembang bahwa label halal itu dapat diperjualbelikan.
“Ada isu yang berkembang di masyarakat bahwa label halal bisa diperjualbelikan. Ini gawat sekali, bagaimana membedakannya dan bisa beredar di masyarakat,” lontarnya.
Anggota DPD RI asal Provinsi Nusa Tenggara Barat Achmad Sukisman Azmy menila UU Perlindungan Konsumen sejauh ini seakan tidak bermakna. Padahal UU ini sudah ada sejak lama, namun masih banyak konsumen yang tidak terakomodir. Sementara rencana membuat revisi UU Perlindungan Konsumen ada kekhawatiran, setelah direvisi akan senasib dengan UU yang lama. Apalagi di era globalisasi ini sangat sulit mengawasi ini.
Di kesempatan yang sama, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim menjelaskan bahwa pihaknya telah menerima 6.300 pengaduan sejak 2017 – 17 Juni 2021. Sedangkan sejak tahun 2005 – 2021 telah mengirimkan 211 rekomendasi kepada kementerian/lembaga, 165 rekomendasi belum mendapatkan tanggapan dari 42 kementerian/lembaga.
“Kendala dan tantangan perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu perlindungan konsumen belum menjadi pertimbangan yang prioritas dalam kebijakan perekonomian nasional. Selain itu mekanisme dan implementasi pengawasan terhadap peredaran barang atau jasa belum optimal, khususnya pada kualitas sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan,” kata Rizal.
Selain itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan bahwa sudah enam tahun, UU Jaminan Produk Halal (JPH) belum efektif melindungi konsumen, sekalipun untuk pangan, apalagi farmasi. Kendalanya, efektivitas produk hukum dipengaruhi struktur hukum, konten hukum, dan kultur hukum.
“Dari aspek struktur hukum, adalah kesiapan jumlah auditor halal. Saat ini baru terdapat 1800-an auditor halal,” bebernya.
Tulus menambahkan setiap tahun ada sekitar 920 ribuan produk yang harus disertifikasi halal, dan memerlukan idealnya 30.000-an orang auditor halal.
“Sertifikasi halal pada UU JPH memang menyulitkan sektor UKM atau UMKM baik dari sisi proses bisnis dan infrastruktur, serta plus biaya,” paparnya.
Leave a Comment