satunusantaranews – Jakarta, Ada dua faktor yang akan menjadi pengubah permainan (game changer) yakni Pandemi dan Demokrasi.
Dua faktor ini akan saling mempengaruhi satu sama lain membentuk lanskap ekonomi-politik baru, demikian tegas Presiden PKS Sohibul Iman di kantor DPP PKS, Jakarta.
Hal tersebut terkait situasi pandemi Indonesia per tanggal 16 Agustus 2020 sudah mencatat kasus positif lebih dari 137 ribu dengan korban meninggal 6.071 atau tingkat kematian 4,4 persen.
Oleh karenanya, pertama yang harus kita lakukan adalah melakukan mitigasi penyebaran Wabah Pandemi COVID-19. Dimana pemerintah harus mampu mengendalikan dan menurunkan tingkat penyebaran COVID-19.
“Yakni bagaimana mendorong akselerasi kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melakukan testing dan tracing. Tanpa kebijakan testing dan tracing yang masif, kita akan sulit menurunkan kurva epidemi,” ujar mantan Wakil Ketua DPR RI ini.
Doktor lulusan Jepang ini pun mengkritik data statistik yang dilaporkan pemerintah sebagai angka yang sangat konservatif dan tidak mencerminkan fakta sebenarnya.
Hal tersebut disebabkan karena setiap korban meninggal yang berstatus Suspect, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan Orang Dalam Pantuan (ODP) tidak dicatat sebagai kematian akibat COVID-19 mengingat belum ada hasil tesnya.
Disamping, rendahnya kemampuan testing Pemerintah. Saat ini Pemerintah Indonesia hanya mampu melakukan testing akumulatif sebanyak 1,8 juta test atau jika dirata-rata hanya sekitar 6.800 spesimen per 1 juta penduduk.
“Angka ini sangat jauh dari ideal jika dibandingkan negara-negara lain di Asia, Eropa dan Amerika,” terang Sohibul.
Selain Faktor Pandemi, masa depan Faktor Demokrasi akan juga sangat menentukan arah ekonomi-politik bangsa Indonesia.
Sohibul Iman menyebut relasi antara otoritas negara, kekuatan pasar dan hak-hak rakyat akan ditentukan oleh bagaimana Pemerintah menjalankan roda pemerintahan.
Persoalannya, apakah Pemerintah memilih jalan konsolidasi demokrasi atau justru menjadikan Pandemi sebagai justifikasi untuk melanggengkan hegemoni oligarki politik dan membuka jalan kembalinya otoritarianisme, papar Sohibul.
Indonesia sudah pernah terjebak dua kali dalam rezim pseudo-democracy atau Demokrasi Semu yang sejatinya merupakan rezim otoritarianisme yakni pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967) di era Orde Lama dan Masa “Demokrasi Pancasila” (1967-1998) di Era Orde Baru.
“Kegagalan kedua rezim tersebut dalam mengkonsolidasikan demokrasi dari demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial menjadikan keduanya memilih jalan pintas dengan memutar balik (turn around) ke pilihan authoritarian,” tegasnya.
Sudah 20 tahun lebih proses demokratisasi pasca reformasi, Indonesia kembali lagi terjebak dalam demokrasi prosedural dalam bentuk yang lain.
Ada yang mengatakan Indonesia saat ini terjebak dalam Demokrasi Oligarki dimana demokrasi dikendalikan oleh segelintir elit yang menguasai sumber daya kapital.
“Oligarki membajak demokrasi dan aktor-aktor demokrasi untuk menghamba kepada kepentingan pemilik modal. Oligarki menguasai elit politik dan para pembuat kebijakan untuk memuluskan kepentingan pemodal dan investor melalui regulasi yang diciptakan.”
Muhamad Sohibul Imam, Presiden PKS menutup paparan pandangannya pada Pidato Kebangsaan dalam Upacara Virtual Peringatan HUT ke-75 Republik Indonesia, Senin (17/8/2020).
Leave a Comment