Glass Ceiling, Hambatan Para Perempuan yang Ingin Berkarier
satunusantaranews, Jakarta - Di tempat di mana patriarki dijunjung tinggi, nasib para perempuan jadi tidak pasti dan tidak bisa ditentukan oleh dirinya sendiri. Begitupula di negeri kita Indonesia. Di dunia kerja apalagi, diskriminasi terhadap para perempuan banyak ditemui, padahal tak sedikit orang yang menyuarakan kesetaraan gender. Nah, peristiwa inilah yang disebut dengan istilah Glass Ceiling.
Istilah Glass Ceiling pertama kali diperkenalkan dalam sebuah edisi The Wall Street Journal tahun 1986 oleh Hymowitz dan Schellhardt. Awalnya, glass ceiling merupakan sebuah metafora yang mengacu pada hambatan transparan dan artifisial yang dihadapi wanita atau kaum minoritas untuk meraih jabatan tinggi dalam suatu perusahaan.
Menurut Yohanes Arianto Budi Nugroho dalam buku Kepemimpinan untuk Mahasiswa: Teori dan Aplikasi (2018), glass ceiling menjadi salah satu fenomena yang terjadi dalam ruang lingkup manajemen. Jika diartikan secara harfiah, glass ceiling berarti sebuah batasan.
Glass ceiling adalah sebuah hambatan atau halangan bagi kaum perempuan untuk maju, seperti memiliki jabatan tinggi atau menjabat sebagai pimpinan. Hambatan ini menyebabkan perempuan lebih sulit berkembang maju dalam bidang pekerjaan. Berbeda dengan kaum pria yang lebih mudah memposisikan diri pada posisi strategis. Akibatnya perempuan lebih canggung dalam meningkatkan jenjang kariernya. Padahal tak jarang kita menemui wanita lebih unggul dibandingkan pria, namun tetap saja kita selalu mendengar “Kalau ada cowok, mending cowok lah daripada cewek yang mimpin.”
Menurut jurnal berjudul “The Glass Ceiling Effect”, profesor David A. Cotter dan ketiga peneliti lainnya menyebutkan, ada empat kriteria khusus untuk bisa menyimpulkan bahwa terdapat fenomena glass ceiling di sebuah lingkungan kerja. Keempat kriteria tersebut, yaitu pertama, ada perbedaan perlakuan atau pendapatan yang mencolok terkait ras atau gender, tapi bukan karena latar pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan karakteristik lain yang berhubungan dengan pekerjaan.
Kedua, ada perbedaan perlakuan berdasarkan gender atau ras yang lebih besar pada mereka yang berpendapatan tinggi. Ketiga, ada ketidaksetaraan gender atau ras terhadap kesempatan kenaikan jabatan. Terakhir, ketidaksetaraan gender atau ras yang meningkat seiring berjalannya karier seseorang.
Hal ini tentu saja membuat beberapa faktor dalam kinerja wanita disebuah perusahaan. Melansir healthline, sebuah studi yang dipublikasikan pada 2019 oleh Blue Eyes Intelligence Engineering & Sciences Publication mengungkapkan bahwa fenomena glass ceiling berdampak langsung pada tingkat stres karyawan perempuan.
Stres yang terjadi secara berkepanjangan (kronis) akan membuat munculnya sejumlah penyakit serius dalam tubuh, seperti jantung, diabetes, dan tekanan darah tinggi.
Selain itu juga wanita yang percaya bahwa glass ceiling merugikan cenderung enggan melamar posisi yang lebih tinggi, meskipun secara kualitas mereka setara dengan pria. Bila glass ceiling terus berlangsung, jumlah wanita yang melamar jabatan tinggi semakin menurun mengakibatkan proporsi pekerja wanita dan pria semakin tidak seimbang.
Komentar