satunusantaranews – Sumba. Tangisan pilu itu kembali terdengar dari seorang perempuan muda saat tubuhnya diangkat dengan paksa dan dibawa oleh segerombol laki-laki. Perempuan itu terus meronta dan menangis pilu namun tidak ada yang menghiraukannya.
Hal tersebut pun mendorong Goresan Hati Perempuan Sumba merespon terhadap Praktek Kawin Tangkap tersebut dengan menyelenggarakan Webinar Bertema Kawin Tangkap di Sumba Budaya atau Pelanggaran HAM?
Webinar yang dipandu langsung Ardianus Gawi Tagu dengan menghadirkan tiga narasumber yaitu Pater Drs. Gregorius Neonbasu, SVD, PhD selaku Antropolog NTT, kemudian Yuniyanti Chuzaifah selaku Penggiat HAM Perempuan dan mantan Komisioner Komnas Perempuan, serta Pdt. Aprisa L Taranau, M.Si selaku BPD Peruati Sumba.
Adapun tujuan diselenggarakan webinar ini sebagai respon terhadap kawin tangkap di Sumba, serta untuk memperjelas apakah kawin tangkap di Sumba Budaya atau Pelanggaran HAM? Karena sampai saat ini Kawin Tangkap tersebut masih menjadi Pro-Kontra dimasyarakat Sumba.
Webinar yang berjalan selama 2 Jam tersebut mengambil kesimpulan bahwa “Praktek Kawin Tangkap di Sumba Bukan Budaya dan Itu adalah Pelanggaran HAM”. Pater Drs. Gregorius Neonbasu SVD, PhD menyampaikan bahwa “Kawin Tangkap di Sumba Bukan Budaya, itu adalah sebuah Kebiasaan Pragmatis yang terjadi sesaat dan sesuai dengan Kondisi Iklim”.
Sementara Yunita Chuzaifah mengatakan bahwa Budaya itu Tidak Menyakiti, Kalau Menyakiti Bukan Budaya Lagi, dan Praktek Kawin Tangkap di Sumba sudah Merampas Hak Perempuan dan itu Jelas merupakan Pelanggaran HAM. Dan tidak ada aturan yang dapat menghilangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Kemudian Pdt. Aprisa L Taranaru M.Si juga menegaskan bahwa Kawin Tangkap di Sumba adalah sebuah tindakan kekerasan dan ketidakadilan. Perbedaan jenis kelamin dimaksudkan seturut rancangan ilahi untuk berbeda dan saling melengkapi, masing-masing memiliki martabat dan kesetaraan yang sama dan diciptakan sesuai citra Allah, apapun motifnya dan bagaimanapun juga Kawin Tangkap di Sumba adalah sebuah tindak kekerasan dan pelanggaran HAM.
Dan Harapan kami praktik kawin tangkap di Sumba harus di hilangkan, pemerintah daerah juga mempunyai wewenang dalam hal ini Gubernur NTT dan Empat Pimpinan pemerintahan di Sumba harus menjadikan penghapusan praktik kawin tangkap dalam peraturan daerah dan mensosialisasikan kawin tangkap itu pelanggaran HAM dan Kekerasan terhadap perempuan. Karena budaya yang baik adalah budaya yang tidak menyakiti.
Kegiatan Webinar diakhiri dengan sebuah kalimat dari Moderator yang mengatakan, “Hanya ada satu jenis kotoran yang sulit di bersihkan dengan air bersih, ialah kebencian dan fanatisme yang telah melekat dalam roh. Cintalah satu-satunya yang membersihkan hati kita. Mari kita menjaga perempuan sebagai bagian dari tulang dan darah kita serta memberikan kebebasan dalam menentukan pilihannya”.
Inosius Pati Wedu yang juga sebagai Open Speech dalam webinar ini mengatakan bahwa kami menyelenggarakan webinar ini untuk memperjelas apakah Kawin Tangkap di sumba Budaya atau Pelanggaran HAM? (mario/tjbm/foto wardaht)
Leave a Comment