Hakim Agung Terbukti Tidak Netral | Andri: Yulius Tidak Layak Menjadi Hakim Agung

Jakarta, satunusantaranews.co.id – Mahkamah Agung (MA), sebagai benteng terakhir keadilan masyarakat, kini dipertanyakan kekokohannya. Putusan-putusan yang lahir dari institusi ini dinilai mencederai rasa keadilan, terutama dari perspektif para pencari keadilan. Salah satu yang merasakan kekecewaan adalah Andri Tedjadharma, pemegang saham Bank Centris Internasional.

Andri Tedjadharma mengaku kecewa dengan hakim MA yang mengadili perkaranya. Kekecewaannya bukan hanya tercermin dari putusan yang diambil, tetapi juga dari pernyataan dan sikap hakim tersebut di ruang publik.

Baru-baru ini, pernyataan Hakim Yulius dalam Majalah Matra menunjukkan sikap yang tidak netral. Pernyataannya yang menyatakan akan mendukung Satgas BLBI jelas memihak, menunjukkan bahwa beliau tidak layak duduk sebagai hakim yang adil bagi masyarakat.

"Masyarakat atau warga negara adalah bagian integral dari negara. Negara berdiri karena adanya wilayah, rakyat, dan pemerintah. Pemerintah ada karena kepercayaan rakyat tanpa terkecuali. Dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang sistem pemerintahannya presidensial, trias politika—legislatif, eksekutif, dan yudikatif—menjadi dasar pemerintahan kita," jelas Andri.

Sehingga, ketika Yudikatif yang seharusnya menjadi penyeimbang, bekerja sama dengan eksekutif, hal ini membawa pertanyaan besar tentang arah negara ini. "Hakim Yulius tampaknya lebih memperhatikan masyarakat bawah dan mengabaikan orang lain yang dianggap musuh. Padahal, 'yang dianggap musuh' mungkin adalah mereka yang mengabdikan diri untuk negara ini," tegas Andri.

Andri memberikan contoh. "Coba bayangkan, jika ada 30 orang berambut keriting yang jahat, apakah semua orang berambut keriting itu jahat? Demikian pula, jika ada segelintir pengusaha yang jahat, apakah semua pengusaha itu jahat?"

"Kami, masyarakat, menghimbau agar Anda, Hakim Yulius, menjadi hakim yang netral. Jangan hanya memandang orang dari belakang saja, cobalah pandang mereka dari segala sudut dengan hati yang bersih dan pikiran yang jernih untuk melihat kebenaran yang hakiki," tuturnya.

Andri menegaskan, seorang hakim jangan ragu-ragu dalam membuat keputusan yang akan menyebabkan ketidakpastian hukum. "Hakim yang adil dan benar adalah yang berani mengambil risiko, apakah itu mengabulkan atau menolak. Hakim yang ragu-ragu hanya akan mencelakakan orang lain," ujarnya.

Andri pun mengingatkan, tugas hakim itu berat karena hakim adalah wakil Tuhan di bumi. "Jadi, ingatlah pada Sang Pencipta dalam setiap keputusan yang Anda ambil. Tanyakan pada diri sendiri, apakah tindakan Anda sesuai dengan hati nurani?"

Apa yang dilontarkan Andri Tedjadharma juga dirasakan oleh penulis. Ketidaknetralan dan keberpihakan hakim Yulius dalam persoalan BLBI sempat terekam dalam Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Satgas BLBI di Bandung pada tahun 2022.

Dalam FGD bertajuk "Implementasi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Pengurusan Utang Negara untuk Menyelesaikan Hak Tagih Dana BLBI", Dr. H. Yulius, SH, MH, sebagai Ketua Kamar Tata Usaha Negara, mengatakan tiga prinsip penting di dalam hubungan hukum.

Pertama, dia menyebutkan bahwa utang merupakan suatu hal yang harus dibayar, terlebih utang terhadap negara karena dampaknya bukan hanya terhadap satu atau beberapa orang saja namun berdampak pada masyarakat luas.

Pernyataan Yulius soal utang harus dibayar memang tidak terbantahkan. Namun, dalam kaitan utang itu, menurut penulis, harus benar-benar sudah ada putusan hukum atau pengadilan umum yang menyatakan seseorang itu punya utang. Apalagi utang kepada negara.

Dalam kaitan dengan Andri Tedjadharma, pada persidangan di PN Jakarta Selatan tahun 2000, sudah jelas gugatan BPPN terhadap Bank Centris Internasional ditolak. BCI terbukti tidak menerima dana BLBI dan hanya melakukan jual beli promes nasabah dengan Bank Indonesia.

"BCI saja bukan obligor BLBI. Apalagi, saya secara pribadi," tegas Andri yang kecewa dengan putusan hakim Yulius atas perkaranya yang membuat ketidakpastian hukum di tanah air.

"Hak hakim membuat keputusan NO. Tapi, alangkah elok kita konsisten dan penuh keyakinan. Karena, keputusan NO bisa membuat ketidakpastian hukum. Orang ke pengadilan itu mau minta kepastian hukum," pungkasnya.

Penulis:

Baca Juga