satunusantaranews, Jakarta – Bagi sebagian orang hijrah menjadi keharusan. Ia harus dimulai dari niat hati paling dalam untuk berubah karena Allah. Tapi bagaimana jika hijrah untuk tujuan lainnya? Kata “hijrah” telah dipatenkan dalam kehidupan kelompok orang. Ia mengiang bagaikan suara burung tengah malam. Tapi yang menjadi sesuatu yang penting untuk kita ketahui, “hijrah” ini sebenarnya hanya produk bahasa agama, yang sengaja dipasok untuk sebuah ambisi politis, selain teologi dan ekonomi.
Maka lahirlah perlbagai komunitas: Komunitas Pecinta Hijrah. Komunitas ini telah lama hidup dan merangkak setalah keran demokrasi dibuka seluas-luasnya, dan manusia urban mencari identitas keislamannya. Dahulu, kita mengira itu gerakan positif. Tapi tambah ke sini, ada jurang dalam yang sengaja dibuat untuk pecandunya.
Yang terjadi di lapangan, setelah sekian lama mereka menerjang tembok kebudayaan dan ajaran keislaman kultural NU dan Muhammadiyah, secara terang-terangan hasil dari komunitas tersebut melaknati. Pengkafiran atas sebuah ijtihad dari ormas besar itu, sering kita temui. Dalam konteks politik dan kebudayaan pun mereka berbeda jauh dari “kebanyakan”.
Komunitas hijrah ini lebih senang kepada adat yang jauh daripada yang dekat. Bahkan lebih memilih ideologi atau ajaran keagamaan yang jauh daripada yang sudah tertanam rapi di bentangan kehidupan masyarakat. Komunitas ini memilih ideologi transnasional. Sebuah ideologi yang dianut HTI.
Tokoh-tokoh yang menggerakkan Komunitas Pecinta Hijrah tak lain dan tak bukan adalah dari tokoh HTI. Bahkan jika kita memperhatikan lebih jauh bagaimana propaganda komunitas ini, plek sama dengan propaganda HTI. Maka banyak mengatakan bahwa Komunitas Pecinta Hijrah ini adalah neo HTI, atau propaganda HTI.
Jika HTI memakai kata Jihad atau Khilafah sebagai tembak bahasanya. Maka, Komunitas Pecinta Hijrah adalah kata “hijrah” sebagai bahasa bujuk rayunya. Keduanya sama-sama memainkan bahasa agama untuk dijadikan pengipas kelembapan alam pikir pemuda dan umat perkotaan yang baru mulai belajar agama.
Terkerangkenglah pemuda dan muslim perkotaan dengan bahasa agama itu. Yang senyatanya, hanya menjadi kedok untuk tujuan yang sangat politis: yaitu untuk mengelabuhi mereka supaya menghitamkan apa makna budaya, agama, adat, negara, dan bangsa, yang telah dipegang teguh dan terasa nyaman oleh umat Indonesia.
Strategi propaganda mereka sama dengan HTI. Mereka diajak untuk menyelami kali agama yang senyatanya untuk dicemburkan kepada lautan luas tanpa melihat daratan. Alhasil, teman-teman Komunitas Pecinta Hijrah ini tersasar di alam yang terang. Karena ajaran yang mereka terima adalah kegelapan.
Hadis dan ayat sering diterjemahkan hitam-putih. Budaya, kesenian, musik, makanan, tubuh, dan lokalitas keagamaan difatwa halal-haram. Bahkan rumusan negara ditafsirkan menjadi sesuatu yang buruk dan menyimpang. Maka, tak heran bila mereka menyusupkan sebuah ajaran dan ideologi “baru” untuk meruntuhkan posisi budaya, kesenian, dan lokalitas keagamaan luhur orang Indonesia. Membenarkan yang salah, mencoreng yang benar.
Lihatlah, di beberapa kota, Komunitas ini sering berbeda dengan mayoritas lain. Tak jarang, di antara mereka merasa saleh dan merasa agamaistik. Ia seakan telah hijrah dari jurang keburukan menuju surga kebaikan. Seakan telah mendapat hidayah penuh dari Allah. Dan telah menerima surat izin untuk menfatwa umat dengan “haram”.
Yang terjadi dari pecandu hijrah ini mengharamkan salawat, tahlil, rokok, dan musik. Bahkan menganggap tubuh manusia yang gemuk bakal masuk neraka. Semua dinamika dan rutinitas harian masyarakat teranggap salah. Yang benar adalah mereka, yang menganggap telah mengepak sayap tonggak baru peradaban Islam menjadi mercusuar dunia, sekaligus menjadi penanda runtuhnya peradaban Jahiliyah.
Propagandis itu nyata. Bahkan dekat dengan kita. Biasanya, pada tanggal 1 Muharram, Komunitas Pecinta Hijrah memanfaatkan momentum hari besar Islam itu untuk merekrut kawula muda. Karena menurut mereka, 1 Muharram atau bulan Hijriah ini teranggap hari terpenting untuk memulai (berhijrah), yang bakal diberkati Allah Swt. Masuknya bulan Hijriah dijadikan momentum propaganda hijrah politis HTI.
Lihat IGnya Komunitas Pecinta Hijrah. Mereka telah merancangnya dalam satu minggu lalu. Dan tepat pada hari ini, IG tersebut telah diikuti 15,2 ribu pengikut, dari 13 postingan tercatat selama enam hari ini. Dan pada hari Rabu 11 Agustus besok, mereka mengadakan acara “Hijrah Bareng-Bareng”. Anda mau tahu siapa tokohnya? Pastilah pengasong khilafah dari HTI: Ismail Yusanto, Felix Siauw, Yuana Ryan Tresna, Ahmad Rusdan Utomo, Dewa Eka Prayoga.
Yang patut diperhatikan sekali lagi, mereka mengadakan acara tersebut tepat 1 Muharram (masuknya bulan Hijriah), penghadiran tokoh, dan tema. Acara tersebut tujuan utamanya adalah propaganda dan perekrutan untuk hijrah bareng-bareng.
Maka, caption yang hadir dalam status IGnya sebagai berikut: Saat ini, hijrah saat ini bukan sekadar gaya hidup. Melainkan menjadi kebutuhan untuk menjalani kehidupan sesuai tuntutan Islam… Umat makin sadar, sistem kehidupan terbaik hanya bisa diraih dengan Islam. Maka, sudah saatnya kita bareng-bareng berhijrah menuju Islam Kaffah. Mari bergabung dalam “Hijrah Bareng-Bareng”.
Kita pasti sadar apa tujuan acara dan caption di atas. Dirimu mau dijembloskan ke jurang kelam ajaran HTI dengan rayuan bahasa “hijrah”, untuk dijadikan sebagai alat mencabik-cabik negara, bangsa, dan basis keagamaan moderat yang ada.
Leave a Comment