satunusantaranews, Jakarta – IDEAS melakukan kajian terkait Petaka Gelombang Kedua Pandemi di Indonesia. Serangan virus varian delta merebak di Indonesia sejak Juni 2021 dan berpuncak pada Juli 2021. Gelombang ke-2 pun menjadi kisah kelabu yang membuka tabir gelap: Betapa Ringkihnya Negeri ini Melawan Pandemi.
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menilai bahwa bergantung hanya pada vaksinasi sebagai jalan keluar dari pandemi adalah pilihan kebijakan yang beresiko tinggi. Menurutnya ambang batas herd-immunity terlihat tidak akan pernah bisa dicapai meski kebijakan vaksinasi massal telah diadopsi secara optimal.
Dalam skenario awal pemerintah, herd-immunity akan diraih dengan vaksinasi massal 181,5 juta orang, yaitu penduduk 18 tahun ke-atas setelah dikurangi yang tidak bisa divaksin 7,2 juta orang.
“Skenario ini secara jelas menggunakan asumsi yang sangat ketat, yaitu tingkat efikasi vaksin 60 persen dan cakupan vaksinasi 67 persen populasi,” kata Yusuf Wibisono dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at (13/08).
Namun seiring kini vaksin telah direkomendasikan untuk usia 12-17 tahun, maka diperkirakan penduduk yang harus divaksin akan menembus 200 juta orang, atau sekitar 74 persen populasi. Dalam skenario pemerintah dengan cakupan vaksinasi di kisaran 74 persen populasi, dan dengan menggunakan asumsi daya penularan virus (R0) 2,5 yang merupakan varian awal di Wuhan saja, seharusnya dibutuhkan tingkat efikasi vaksin setidaknya 80 persen.
“Terlebih kini dengan kehadiran varian baru yang jauh lebih menular seperti Alpha (R0 = 4,5) dan Delta (R0 = 6,5), kita membutuhkan vaksin dengan efikasi sangat tinggi sekaligus cakupan vaksinasi yang sangat luas,” ungkap Yusuf.
Dia menambahkan untuk varian Alpha (R0 = 4,5) setidaknya dibutuhkan tingkat efikasi vaksin 85 persen dengan cakupan vaksinasi 92 persen populasi. Sedangkan untuk varian Delta (R0 = 6,5) setidaknya dibutuhkan tingkat efikasi vaksin 90 persen dengan cakupan vaksinasi 94 persen populasi.
“Target yang nyaris mustahil diraih ditengah berbagai keterbatasan yang ada. Kendala pasokan dan distribusi, yaitu ketersediaan vaksin impor dan kecepatan vaksinasi yang rendah, dipastikan membuat skenario herd-immunity akan sangat sulit tercapai,” ujar Direktur IDEAS itu.
Dia menyebutkan bahwa tantangan besar lain adalah struktur geografis dari herd-immunity. Upaya vaksinasi sebelumnya menunjukkan imunitas umumnya akan terkonsentrasi secara geografis. Resistensi lokal terhadap vaksinasi akan menghasilkan daerah kantong penyakit endemik.
“Meski suatu daerah telah memiliki tingkat vaksinasi tinggi, seperti DKI Jakarta, namun jika daerah sekelilingnya tidak memiliki hal yang sama, sehingga penduduk akan bercampur, maka potensi ledakan wabah tetap tidak akan hilang,”papar Yusuf.
Dia berpendapat, seandainya-pun vaksin dapat terdistribusi secara merata, herd-immunity tetap sulit tercapai seiring potensi mutasi virus dan kehadiran virus varian baru yang lebih menular dan resisten terhadap vaksin.
Kompleksitas mencapai herd-immunity ini diperparah dengan fakta bahwa imunitas populasi baik yang berasal dari vaksin maupun infeksi sebelumnya, tidaklah bertahan selamanya.
“Antibodi yang dihasilkan dari vaksin Sinovac misalnya, menurun dibawah ambang batas setelah 6 bulan,” imbuhnya. Hal ini ditunjukkan pula oleh fenomena reinfeksi, yaitu penyintas Covid-19 yang kembali terinfeksi Covid-19.
Dengan nyaris tertutupnya peluang meraih herd-immunity dari vaksinasi massal, maka intervensi non farmasi akan menjadi signifikan dan terus memainkan peranan krusial dalam menekan penularan dan memutus transmisi virus.
“Intervensi non farmasi skala besar (lockdown) yang dilakukan secara sistematis bersamaan dengan kebijakan containment (testing, tracing and treatment) yang agresif, terbukti paling efektif menghentikan dan memutus transmisi virus. Kita tidak akan bisa keluar dari pandemi ini hanya dengan mengandalkan vaksinasi saja,” tutup Yusuf.
Leave a Comment