satunusantaranews, Jember – Pondok Pesantren Raudlah Darus Salam, Desa Sukorejo, Bangsalsari, Jember, Jawa Timur kedatangan puluhan “santri” baru, 14 Februari lalu. Kalung salib tampak tergantung di leher sejumlah “santri” yang berusia SMA hingga kuliah ini. Pada kesempatan seperti ini santri pondok pesantren harus menangkal intoleransi. Mereka merupakan remaja Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Rejoagung, Jember. Ini kunjungan pertamanya ke sebuah yayasan pendidikan Islam. Mereka ingin merayakan hari kasih sayang dengan cara yang berbeda.
Pengasuh pondok, Misbahus Salam, memperkenalkan tamu spesialnya ini dengan muridnya yang lain. Pengajian di pondok saat itu pun sedikit berbeda. Santri tak dulu mengkaji kitab kuning seperti biasanya, melainkan berdiskusi dan tukar pikiran dengan remaja GKJW.
“Pemuda kami bersuka cita karena disambut luar biasa. (Membantah) Anggapan mereka selama ini pesantren sesuatu yang tidak bisa dimasuki nonmuslim,” kata pengurus GKJW, Pendeta Rena Prasetiya.
Enam hari kemudian giliran GKJW Rejoagung kedatangan puluhan tamu spesial. Semua petandang wanita memakai jilbab dan beberapa tamu pria mengenakan songkok. Rupanya Misbahus Salam membawa puluhan mahasiswa yang sedang praktik pengalaman lapangan (PPL) di pondoknya ke GKJW itu.
Puluhan mahasiswa ini berasal dari sejumlah kampus Islam di Jember. Misbah sengaja mengajaknya karena tidak ingin mereka terjebak dalam pemikiran yang eksklusif dan menutup diri dari golongan lain. “Terkait muamalah, Islam mengajarkan harus saling hidup bersama bahkan membangun negara bersama” tuturnya.
Kekhawatiran Misbah beralasan takut intoleransi tak terbendung. Penelitian Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember pada 2018 menunjukkan 22 persen mahasiswa di kampus itu terpapar virus intoleransi radikalisme.
“Berangkat dari itu kami harus ikhtiar agar mahasiswa-mahasiswa ini inklusif” ucap dia.
Temuan ini tak jauh beda dengan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Direktur PPIM, Ismatu Ropi, mengatakan dalam beberapa tahun ada kecenderungan sikap intoleran di kalangan anak muda.
“Hal ini mengkhawatirkan jika dilihat dari konteks keberagaman Indonesia,” katanya.
Survei PPIM UIN Jakarta, Maret kemarin menunjukkan 69,83 persen mahasiswa di Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang tinggi. Namun 30,16 persen atau satu dari tiga mahasiswa sikap toleransi beragamanya rendah.
“Ini besar dan bisa menjadi api dalam sekam,” kata Ismatu.
Miris, toleransi yang rendah justru banyak ditemukan di perguruan tinggi agama (PTA) dibandingkan PT kedinasan, kampus negeri, maupun universitas swasta. Selain itu, semakin banyak kegiatan keagamaan tertentu membuat toleransi beragama kian rendah.
Ismatu menjelaskan lingkungan di PTA cenderung homogen sehingga interaksi sosial mahasiswa dengan kelompok yang berbeda terbatas. Ia menyarankan para pemangku kebijakan memperbanyak kegiatan sosial lintas agama di kampus-kampus. “Buatlah satu forum, bisa bentuknya mata kuliah, yang berkaitan dengan pengenalan tradisi agama dan adat di Indonesia,” tuturnya.
Bila tak buru-buru ditangani, Ismatu khawatir satu dekade ke depan Indonesia akan dilanda epidemi intoleransi. “Intoleran itu menular, akan ditemukan semakin banyak orang-orang yang bangga berbuat tidak toleran,” katanya.
Senada dengan Ismatu, Rena dan Misbah mendukung adanya kegiatan lintas iman di kalangan mahasiswa agar bisa saling mengenal satu sama lain. Misbah pun bersyukur hingga kini tidak ada warga di daerahnya yang mempermasalahkan tindakannya membawa mahasiswa Islam ke gereja. “Orang yang berwawasan moderat insyaallah akan merespon baik,” katanya.
Leave a Comment