satunusantaranews, Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, memaparkan tiga cara untuk memperjuangkan Presidential Threshold (PT) 0 persen. Demikian disampaikan Refly selaku narasumber Diskusi Nasional Amandemen UUD 1945 kerja sama DPD RI dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen Senayan (13/12).
Cara pertama, kata Refly, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut Presidential Threshold. Cukup Jokowi mengeluarkan Perppu mencabut aturan Presidential Threshold ini, selesai masalah. Tapi pertanyaannya, apakah Jokowi tergerak melakukan hal ini?
Kedua, kata Refly, melalui jalur DPR RI untuk mengubah Undang-Undang Pemilu. Perubahan yang dilakukan baik secara menyeluruh maupun parsial. Kalau DPR RI tak berkenan, maka kita bisa menempuh cara ketiga yakni uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK), paparnya.
Presidential Threshold merupakan cara oligarki ‘menyewakan perahu’ bernama partai politik kepada para tokoh yang ingin maju dalam bursa pencapresan. Perahu yang disewakan oligarki ini nilainya bisa triliunan rupiah. Kalau di tingkat provinsi dan kabupaten/kota nilainya bisa mencapai ratusan juta rupiah, ujarnya.
Meminjam istilah Rizal Ramli, Refly menyebutnya praktik tersebut sebagai demokrasi kriminal. Katanya, untuk memutus praktik demokrasi kriminal maka satu-satunya jalan adalah Presidential Threshold harus dinolkan. Begitu juga di tingkat pilkada, sebab hal ini yang menyebabkan demokrasi kita menjadi mahal.
Pada Pemilu 2024, Refly ingin pasangan Capres-Cawapres lebih banyak, tak hanya head to head. Mereka harus mewakili beragam aspirasi masyarakat. Kalah menang itu soal lain. Yang terpenting adalah slotnya tersedia. Namun, dengan Presidential Threshold 20 persen saat ini, jangan berharap hal itu bisa terjadi, sebab pintu yang dibuka begitu sempit.
“Dan tergantung oligarki yang mencengkram. Sekarang ini kekuatan politik 82 persen didominasi 7 parpol yang saat ini berkuasa. Baik saja karena kita membutuhkan penguatan presidensil. Tapi kalau ini dimanfaatkan oleh oligarki untuk melakukan apa saja, ini kecelakaan,” ujarnya.
Sebab, dengan kekuasaan yang begitu powerfull oligarki bisa melakukan apa saja. 82 persen itu tak mungkin mengajukan satu calon. Mereka bisa membelah diri dan konstestasi, tapi konstestasi yang tidak genuin. Hasil sudah ditebak dan kekuasaan dibagi, urainya.
Padahal, kata Refly, dalam pasal 6A UUD 1945 sudah sangat jelas bahwa yang bisa mengajukan Capres-Cawapres adalah parpol peserta pemilu. Harusnya apa pun parpol yang ditetapkan sebagai peserta pemilu dia punya konstitusional, standing mencalonkan Capres-Cawapres. Harusnya begitu.
Namun, ia melanjutkan, oleh DPR sejak tahun 2004 diperkenalkan yang namanya Presidential Threshold. Saat itu tak masalah karena yang dipakai aturan peralihan. Saat itu aturannya adalah 15 persen kursi atau 20 persen. Tapi karena pada tahun 2004 itu Pilpres pertama, digunakan peralihan cukup 3 persen kursi atau 5 persen suara. Saat itu ada 5 pasangan calon, tutur dia.
Pada Pemilu 2014 dan 2019 terjadi head to head imbas dari Presidential Threshold. Prinsip demokrasi adalah fair competition. Pintu kompetisi harus dibuka. Harus diberikan kepada seluruh parpol. Kalau ada yang bilang, nanti tetangga saya nyapres. Itu lebay karena standing-nya adalah parpol dan gabungan parpol, tegas Refly.
Agar tak goyang, Refly menilai setelah Presidential Threshold 0 persen maka perlu dituangkan dalam konstitusi kita.
“Saya juga setuju calon perseorangan. Ini soal filosofi. Semua warga negara dan pemilih tidak semuanya mengacu parpol untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat,” imbuhnya.
Saat ini, Refly menilai ada tiga kelompok yang memandang amandemen konstitusi. Pertama, mereka yang tak ingin perubahan alias status quo.
“Mereka sudah berada dalam posisi aman dan nyaman dengan konstitusi saat ini. Mereka menilai belum saatnya amandemen. Kelompok ini diwakili mereka yang ada di parpol, terutama di parpol besar dan DPR,” tutur Refly.
Kedua, kelompok yang menurut Refly sedikit fatalistik karena ingin kembali pada UUD 1945.
“Kalau kembali ke sana maka yang terjadi DPD RI bubar. Tidak ada MK dan KY. Konsekuensinya harus kita lihat juga,” papar dia. Kelompok ketiga adalah mereka yang merasa tidak puas dengan kosntitusi saat ini dan memandang banyak kelemahan dan menginginkan perubahan lanjutan.
“Salah satunya digulirkan wacana amandemen ke-5 atau konstitusi baru. Yang belakangan lebih berat. Saya berada di posisi ketiga tapi memilih yang pertama yakni amandemen ke-5,” terang Refly.
Kegiatan ini dihadiri Wakil Ketua 1 DPD RI Nono Sampono, serta sejumlah senator, yaitu Sylviana Murni (DKI Jakarta), Ahmad Nawardi (Jawa Timur), Bustami Zainudin dan Abdul Hakim (Lampung), Sukiryanto (Kalbar), dan Sudirman (Aceh), Angelius Wake Kako (NTT), Leonardi Harmaini (Sumbar) dan Darmansyah Husein (Babel).
Selain Refly, narasumber lainnya adalah Staf Ahli Jaksa Agung, Jan S Maringka dan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Prof Masdar Hilmy.
Leave a Comment