Karyawati PT TSE Jadi Korban Pemukulan Warga
satunusantaranews - Jakarta. Kekerasan terhadap kaum perempuan di tanah Papua, tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi aparat pemerintah. Tidak hanya pemerintah provinsi dan kabupaten, namun juga pemerintah pusat. Pasalnya, kekerasan yang dialami perempuan di Papua, seringkali terabaikan
Satu contoh kasus, misalnya, bisa dilihat pada peristiwa kekerasan yang dialami Martha (nama samaran) karyawan PT Tunas Sawa Erma (TSE) POP A, Boven Digoel, Papua, yang dipukul warga hingga babak belur dan mengalami pingsan selama 3-4 jam, pada 17 Mei lalu. Buntut peristiwa meninggalnya Marius Betera, warga Boven Digoel beberapa waktu yang lalu.
Martha yang dihubungi wartawan pada Sabtu (30/5) menceritakan, dirinya sama sekali tidak menduga dia bakal menjadi korban pemukulan warga. Pada saat itu, dirinya sebagai karyawan TSE di bagian Humas, ditugaskan untuk memberikan pelayanan kepada warga yang melakukan protes atas kasus meninggalnya Marius.
Ia mengatakan dirinya sudah bekerja melayani sebaik-baiknya protes dan tuntutan dari warga setempat. Namun, kembali lagi ia menegaskan, dirinya sama sekali tidak tahu menahu mengapa tiba-tiba dia menjadi sasaran pemukulan. “Kejadian pemukulan sekitar jam 4 sore. Begitu dipukul, saya langsung pingsan, dan baru terbangun sadar sudah malam,” ungkapnya. Setelah itu, akibat luka-luka memar dan lebam, diantar dua aparat polisi, Martha memeriksakan dirinya ke klinik.
Martha mengaku baru melaporkan peristiwa pemukulan terhadap dirinya ini ke Polsek Jair, Boven Digoel, pada 27 Mei kemarin. Ia berharap, pemukulan terhadap dirinya diproses secara hukum, sehingga pelakunya dapat dihukum sesuai perbuatan yang dilakukan.
Anti Kekerasan Perempuan
Apa yang terjadi pada diri Martha, karyawan PT TSE POP A, Boven Digoel tersebut bisa menjadi gambaran betapa rentan dan minimnya ruang aman bagi perempuan di Papua. Tidak hanya di ranah domestik tapi juga di ranah publik. Seperti halnya disuarakan pada kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, yang dilakukan elemen organisasi non pemerintah dan individu yang terhimpun dalam Koalisi Masyarakat Sipil, 2019 lalu.
Latifa Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, pada kesempatan kampanye itu, menegaskan, hingga kini kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga maupun di tempat kerja masih kerap terjadi. Dan, kita masih terus menutup mata akan hal itu.
Karena itu, untuk menekan kekerasan terhadap perempuan di Bumi Cenderawasih, koalisi bersama melakukan sejumlah kegiatan, diantaranya pembukaan Posko Konsultasi dan Pengaduan Kasus Kekerasan terhadap perempuan, liputan isu perempuan dan publikasi opini terkait isu perempuan, dan lainnya.
Dia berharap, di masa mendatang koalisi masyarakat sipil makin kuat untuk melakukan agenda-agenda strategis bagi perempuan di Papua. (ray/ilustrasi foto ist)
Komentar