satunusantaranews, Jakarta – Intervensi riset dan inovasi ini sangat krusial di daerah otonom yang belum memiliki kemampuan mandiri secara fiskal. Oleh karena itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Sultan B Najamudin mengusulkan agar Kementerian Dalam Negeri RI melakukan perekrutan dan penempatan tenaga ahli riset dan inovasi di setiap daerah.
Harus kita akui, setelah hampir 22 tahun, otonomi daerah masih menjadi beban tersendiri bagi sistem keuangan pusat. Padahal, asas kemandirian daerah menjadi tujuan utama dari agenda desentralisasi dan pembentukan daerah otonom, tuturnya.
Prinsip dasar otonomi daerah adalah pemberian kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat, dengan tujuan pemerataan dan keadilan berbasiskan potensi dan keanekaragaman daerah.
“Sebelum pandemi, jumlah daerah yang telah mandiri pada tahun anggaran 2018 dan 2019 adalah sama, yaitu terdapat delapan provinsi dan dua kota. Guncangan ekonomi akibat pandemi tentu turut mengerek lebih banyak daerah ke dalam situasi yang sulit untuk berkembang,” ungkapnya.
Data menunjukkan, kata Sultan, terdapat sedikitnya 102 dari 458 daerah dengan nilai Indeks Kemandirian FIskal (IKF) di bawah 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut sangat tergantung dengan dana transfer, karena PAD hanya cukup untuk membiayai 5 persen belanja daerah.
“Saya kira, semangat desentralisasi dan otonomi daerah harus dikonsolidasikan dalam agenda pembangunan daerah yang lebih praktis dan terukur berbasiskan riset dan inovasi, serta pemetaan potensi daerah secara presisi dan berkelanjutan,” ujar mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu.
Dalam konteks inilah, Sultan memandang, Kemendagri harus menjadi leading sector bagi daerah. Dan tentu saja, sambung dia, dibutuhkan payung hukum berupa peraturan menteri atau bahkan peraturan pemerintah. Hal ini dibutuhkan agar setidaknya fungsi dan manfaat distribusi dan stabilisasi dana alokasi umum (DAU) oleh pemerintah dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien oleh daerah, katanya.
Hingga saat ini, DAU masih memiliki porsi yang besar dalam transfer ke daerah dan dana desa. Dan hampir 62% daerah mengandalkan DAU sebagai pendapatan daerah dalam APBD-nya. Hal itu tentu harus diikuti dengan tata kelola DAU yang efektif dan berkelanjutan. Atas dasar itulah, Sultan mengingatkan, pemerintah pusat melalui Kemendagri berkewajiban melakukan pendampingan dalam melakukan kajian potensi daerah dan strategi pengembangan dan pembangunan daerah.
Yakni dengan menempatkan tim ahli Kemendagri di daerah, dalam periode tertentu. Sebab, sambung dia, sulit rasanya bagi pemerintah pusat untuk mengukur kapasitas dan kapabilitas para kepala daerah. Apalagi, kata dia, jika itu terkait dengan keputusan politik, terutama di daerah-daerah 3T.
“Agar lebih efektif, Kemendagri tentu harus menggandeng lembaga riset seperti BRIN dan kampus juga dunia usaha atau industri yang ada di dalam merekayasa strategi pengembangan ekonomi daerah. Intervensi riset dan inovasi ini sangat krusial bagi daerah otonom yang belum mampu mandiri secara fiskal,” kata Sultan.
“Tim ahli tidak cukup untuk melakukan pengawasan dan monitoring, namun sudaj saatnya mereka dilibatkan langsung dalam proses pengkajian, perencanaan dan pengembangan potensi daerah, khususnya daerah 3T,” jelasnya.
Diketahui, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menegaskan, pihaknya akan menerjunkan tim untuk memantau pemerintah daerah yang dinilai kurang inovatif, bahkan ada inovasinya tak bisa diukur.
Mendagri Tito Karnavian mengatakan, hal itu perlu dilakukan setelah melihat laporan informasi data inovasi daerah berdasarkan hasil pengukuran indeks inovasi daerah.
“Saya akan turunkan tim dari Kemendagri, gabungan dari Ditjen Otda (Otonomi Daerah), BPP (Badan Penelitian dan Pengembangan), dan dari Itjen (Inspektorat Jenderal),” kata Mendagri (29/12).
Leave a Comment