Nasional

Kemendagri Diharapkan Menunjuk Penjabat Kepala Daerah di Papua Secara Bijak

satunusantaranews, Jakarta – Wakil Ketua I Komite I DPD RI, Filep Wamafma berharap Kementerian Dalam Negeri dapat menunjuk penjabat secara bijak dan tidak menyamakan kebijakan penunjukkan Penjabat sama seperti provinsi lain.

“Kita berharap pemerintah memandang Otsus Papua secara keseluruhan. Karena itu, pemerintah pusat perlu memahami betul tentang kekhususan di Papua termasuk dalam konteks pemimpinan. Pemerintah tidak bisa sewenang wenang menunjuk caretaker di daerah seperti daerah lainnya.” Kata Filep (16/2).

Seperti diketahui, di tahun 2022, masa jabatan tujuh Gubernur di Indonesia akan berakhir. Kekosongan jabatan para gubernur itu diselesaikan dengan pengangkatan penjabat kepala daerah. Hal tersebut merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Salah satu Gubernur yang akan berakhir masa jabatannya adalah Gubernur Provinsi Papua Barat. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan menyatakan bahwa pemerintah akan menunjuk Penjabat tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku.

Filep menguraikan bahwa Pemilihan Gubernur di Papua dan Papua Barat berbeda dengan pemilihan di daerah lain, termasuk salah satunya syarat menjadi gubernur. Karena itu, penunjukkan caretaker juga tidak dapat disamaratakan.

“Apa sesungguhnya poin penting dari UU otsus yang menyebut salah satu syarat ialah OAP? Karena gubernur adalah representatif dari identitas OAP. Ia adalah ex officio dari masyarakat adat, agama dan mewakili suara perempuan,” sambung Filep.

Ia juga mengingatkan pentingnya pertimbangan Penjabat Gubernur secara matang karena Penjabat Gubernur tidak hanya melaksanakan administrasi pemerintahan di daerah, tetapi juga melaksanakan tugas-tugas politik. Hal itu kata Filep, senada dengan adanya masukan masyarakat pasca dirinya dan anggota Komite I lainnya melakukan kunjungan kerja ke Papua Barat.

“Kita juga menerima aspirasi dari Aliansi Masyarakat Peduli Hak Konstitusional agar Bapak Dominggus ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur nantinya. Menurut AMPHK, untuk menjaga stabilitas politik pasca ditetapkannya beberapa agenda strategis terkait Papua dan Papua Barat. Ini bukan soal sosok pak Dominggus, tapi statusnya sebagai salah satu Kepala Suku Besar di Papua yang mewakili kelompok adat, sebagai OAP, dan sebagai orang yang paling memahami kondisi Papua Barat hari in,” katanya.

Apalagi Gubernur Papua Barat menerima fakta dan mandat bahwa Papua dan Papua Barat akan dimekarkan. Pemekaran ini akan berdampak pada berbagai persoalan lain misalnya penyesuaian anggaran, penyesuaian administrasi, penyesuaian pembangunan dan infrastruktur, penyesuaian SDM dan lain sebagainya.

Dalam konteks pemekaran wilayah Papua Barat inilah, maka penunjukkan Penjabat gubernur sepantasnya mengedepankan asas afirmatif, dengan berpegang pada keadilan dan kemanfaatan. Di sinilah peran Kemendagri harus diperkuat, karena tugas dan fungsi yang serupa dengan Kepala Daerah Provinsi adalah tugas dan fungsi Kemendagri yaitu menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.

“Tidak etis dalam situasi Papua saat ini, Penjabat yang ditunjuk tidak mendapat legitimasi politik dari rakyat, Maka tidak ada salahnya demi kepentingan dan stabilitas politik, Pemerintah dapat memperpanjang masa jabatan sisa menjelang pemilu 2024,” urai Filep Wamafma.

Alasan tersebut menurutnya sejalan dengan upaya Pemerintah dalam konteks ketahanan nasional. Apalagi Pemerintah Pusat tengah menerima surat dari PBB terkait permintaan klarifikasi adanya dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua.

Karena itulah menurut Filep, kehati-hatian mengambil kebijakan Penjabat Gubernur dengan memperhatikan konteks kekhususan juga bagian dari kemampuan mengatasi segala macam ancaman, tantangan dan hambatan dalam membangun Papua. Apalagi menurutnya, masa jabatan sisa selama dua tahun bukanlah waktu yang singkat.

Untuk menjembatani hal ini, maka butuh terobosan hukum dalam rangka lex specialis. Poin inilah yang menjadi penekanan berikutnya yaitu terobosan hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, setidaknya ada kegentingan yang memaksa, suatu kebutuhan yang mendesak, yaitu berupa konteks keberlanjutan pemekaran Papua.

Waktu 2 (dua) tahun bagi Penjabat Gubernur tidak boleh disia-siakan untuk memulai semua pembangunan pemekaran dari titik nol. Penjabat Gubernur haruslah orang yang memang secara aktif menerima mandat pemekaran tersebut. Inilah kebutuhan mendesak yang dapat digunakan Presiden untuk menetapkan Perppu, mengingat untuk alasan pemekaran dan afirmasi Papua Barat, terdapat kekosongan hukum yang membutuhkan penyelesaian secara cepat dan tuntas.

Tentu tidak ada yang salah dengan penerbitan Perppu ini, karena Presiden dapat memakai alasan subjektif lain, dengan catatan bahwa alasan tersebut memenuhi keadilan dan kemanfaatan bagi pemekaran Papua, dan sekaligus dapat membantu Pemerintah dalam menciptakan kedamaian di Papua, terutama dalam rangka penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang sedang diawasi Dewan HAM PBB.

Leave a Comment
Published by
Kahfi SNN