satunusantaranews – Jakarta. Minggu ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya, menyampaikan pesan kepada dunia internasional yang tengah berjuang melawan Covid-19 berupa harapan dan capaian. Gelombang pasang perjuangan Indonesia melawan deforestasi telah membuahkan hasil. Deforestasi dan degradasi hutan dan gambut telah menurun tiga tahun berturut-turut.
Hasilnya tidak datang secara kebetulan atau merupakan keberuntungan, tetapi dari upaya yang tak kenal lelah. Sepuluh tahun yang lalu, pada Mei 2010, Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bilateral untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Kerja sama ini diilhami oleh kerangka kerja Reducing Emissions form Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Plus di bawah the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
“Dalam hal ini Indonesia memiliki komitmen yang ambisius untuk mereformasi pengelolaan hutannya, dan Norwegia menjanjikan dukungan keuangan hingga 1 miliar dolar AS, yang sebagian besar akan dibayarkan berdasarkan hasil pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan gambut di Indonesia, yang telah diverifikasi”, ucap Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong dalam Konferensi Pers Kerjasama Indonesia – Norway terkait REDD+, Rabu. (27/05/2020)
Sebagai negara berdaulat, Indonesia dan Norwegia memiliki komitmen yang kuat untuk memerangi pemanasan global. Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi nasional yang ambisius. Kontribusi terbesar diharapkan dari pengurangan deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut secara signifikan. Peran Norwegia ada dua, Bantuan keuangan, dan dukungan teknis dan ilmiah. Norwegia juga telah menetapkan target pengurangan emisi yang ambisius di dalam negeri dan bekerja sama dengan Uni Eropa.
Selama satu dekade terakhir, kedua negara telah bekerja tanpa lelah dengan semangat kemitraan. Kedua negara telah mendapat dukungan kuat dari komunitas, masyarakat sipil dan lembaga akademis di dalam negeri dan internasional, dan ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pemangku kepentingan yang terlibat.
“Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan yang kuat, dan meluncurkan sejumlah reformasi kelembagaan dan peraturan untuk meningkatkan tata kelola hutan di seluruh negeri. Tahapan-tahapan penting telah dilalui dengan mantap sepanjang jalan kemitraan kedua Negara”, jelas Alue Dohong.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman menambahkan tentang keberhasilan pencapaian kesiapan REDD+ Indonesia. Moratorium penerbitan izin baru pengelolaan hutan alam primer dan lahan gambut yang dimulai pada tahun 2011 dan statusnya dipermanenkan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2019. Moratorium lahan gambut, yang dimulai pada tahun 2017, untuk melindungi area lahan gambut yang luas, dan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada tahun 2016 dengan rencana untuk memulihkan 2 juta hektar lahan gambut terdegradasi.
Pada tahun 2018, moratorium kelapa sawit mengakhiri pembangunan kebun baru di lahan hutan dan menggeser fokus pemerintah dari ekspansi ke intensifikasi untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan. Kebijakan Satu Peta (KSP), yang dikenal dengan One Map Policy, merupakan alat perencanaan tata ruang umum untuk seluruh Indonesia – dan semua tingkat pemerintahan. Praktik pengelolaan hutan di tingkat lokal diperkuat melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Program Perhutanan Sosial, termasuk ribuan izin untuk petani. Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebuah direktorat jenderal khusus telah dibentuk untuk memerangi kejahatan hutan.
“Norwegia telah menyediakan dana dengan kepastian untuk kemitraan ini serta investasi hijau lainnya. Selain itu, upaya besar telah dilakukan untuk memperkenalkan “cara Indonesia” kepada mitra global dan masyarakat dunia. Indonesia telah bekerja keras untuk mempromosikan upaya perlindungan hutan tropis di forum internasional”, imbuh Ruandha.
Tahun-tahun awal kemitraan didominasi oleh upaya untuk mendefinisikan tantangan yang ada, dan mengidentifikasi teknik yang diperlukan untuk mengatasinya. Selama kurun waktu itu, fokus kerja sama adalah pada peningkatan inventarisasi hutan dan kapasitas pemantauan, penguatan kesadaran dan keterlibatan masyarakat, pengembangan model bisnis yang berkelanjutan dan secara aktif berpartisipasi dalam negosiasi kesepakatan global tentang REDD+ dalam kerangka konvensi iklim. Penting untuk dicatat bahwa langkah mendasar ini merupakan elemen yang penting bagi keberhasilan yang sekarang muncul.
Penunjukan Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Presiden Jokowi telah terbukti sebagai langkah yang sangat sukses. Selama lebih dari 5 tahun, ia telah berkampanye tanpa kenal lelah di seluruh negeri untuk menyampaikan informasi dan berkonsultasi dengan ribuan komunitas dan pejabat tentang perlunya reformasi kebijakan korektif. Di bawah arahannya, “semua hal tentang REDD+” diletakkan di bawah satu payung, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, bersama dengan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum yang didirikan untuk memerangi kejahatan hutan. Jika kita melihat kembali prioritas kementerian dan kebijakan menteri selama beberapa tahun ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah sekarang dapat menunjukkan penurunan emisi secara substansial.
Apa yang diharapkan dari fase berikut kemitraan tersebut? Kedua negara berkeyakinan untuk melanjutkan kerja sama, dan pembahasan perpanjangan perjanjian kemitraan tersebut yang saat ini sedang berlangsung. Berdasarkan pengalaman dari kerjasama selama satu dekade, kedua negara sepakat bahwa beberapa bidang pokok akan mendapat perhatian bersama: Meningkatkan, memperbaiki dan berinvestasi pada kesejahteraan pedesaan yang berkelanjutan. Penegakan hukum yang ketat di kawasan lindung. Kajian atas konsesi dan ijin-ijin untuk memastikan kepatuhan hukum dan lingkungan. Membangun bisnis berkelanjutan dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lainnya yang bergantung pada hutan. Pencegahan kebakaran. Restorasi dan pembasahan kembali lahan gambut yang rusak. Menguatkan pengelolaan hutan lestari, dan berinvestasi pada penelitian berbasis ilmiah yang memastikan kualitas semua kegiatan. Mengenalkan instrumen-instrumen keuangan yang memberikan penghargaan pada penekanan deforestasi dan perilaku perencanaan tataguna lahan yang berkelanjutan; untuk masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan belajar sambil melakukan. Kami yakin bahwa semangat persahabatan dan kerjasama antara kedua negara akan membantu membangun platform yang lebih kuat lagi untuk kemitraan di masa mendatang.
“Kedua negara juga yakin bahwa semangat kemitraan keduanya akan menginspirasi masing-masing negara dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Perjanjian Paris, untuk kepentingan saat ini dan untuk generasi mendatang. Menyelamatkan hutan Indonesia tidak diragukan lagi akan membantu kedua negara dan dunia dalam mencapai keduanya”, ucap Duta Besar Norway untuk Indonesia, Vegard Kaale.
Dikatakan Vegard, Kemitraan telah memperlihatkan hasilnya, dan Indonesia telah menunjukkan tekad dan kemampuan nyata untuk mengatasi penyebab deforestasi dan penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan. Upaya melawan penggundulan hutan semakin nyata dan menawarkan dorongan bagi mereka yang tanpa lelah bekerja bersama kami selama 10 tahun. Hasil telah dicapai, Indonesia dan Norwegia sedang dalam dialog yang intens baik terkait dengan pembayaran berbasis kinerja untuk hasil yang dicapai, maupun tentang rincian bagaimana kemitraan akan dilaksanakan ke depan, tentu saja dalam kerangka Letter of Intent 2010. Kami optimistis bahwa kemitraan akan lebih produktif selama sepuluh tahun ke depan dibandingkan dengan selama sepuluh tahun terakhir.
“Sekali lagi, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas kontribusi yang sangat penting. Kami berharap kolaborasi dan dukungan semua pihak yang berkelanjutan di dekade mendatang”, pungkas Alue Dohong. (ray/foto ist)
Leave a Comment