Kereta Api (KA) Cepat Jakarta-Bandung Ternyata Bukan Untuk Rakyat
satunusantaranews, Jakarta - Anggota Komisi V DPR-RI Drs H Hamid Noor Yasin MM, menegaskan bahwa Kereta Api (KA) Cepat Jakarta-Bandung ternyata bukan untuk rakyat. Meski demikian, untuk mempertaruhkan kredibilitasnya, pemerintah menyuntikkan dana segar APBN agar projek tersebut tidak mangkrak dan terus berjalan.
”Sejak awal, kami di Fraksi PKS telah menolak, walaupun pemerintah menjanjikan projek ini tidak akan menggunakan APBN,” tegas Hamid sembari menilai sebab project itu tidak mendesak. Karena pergerakan orang di lintas Jakarta-Bandung, masih bisa diakomodir menggunakan moda transportasi yang ada. Yakni KA reguler maupun transportasi darat lainnya melalui jalan tol dan jalan nasional.
Hamid, Anggota Legislatif asal Dapil IV Jateng (Wonogiri, Karanganyar, Sragen), menilai, projek KA cepat Jakarta Bandung tidak ada dalam rencana induk perkeretaapian 2030. Dengan demikian, ketika pemerintah mengingkari janjinya dan meminta kucuran dana bagi project itu melalui PMN Tahun Anggaran (TA) 2022 sebesar Rp 4,1 T, maka Fraksi PKS dengan tegas kembali menolak.
”Karena saat ini, sedang fokus berjuang melawan pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi,” tegas Hamid, sembari menambahkan apalagi dengan utang BUMN yang semakin menggunung akibat banyaknya penugasan di bidang infrastruktur.
Kecerobohan itu, tandas Hamid, nampak dari permasalahan yang membelit project KA cepat saat ini. Dimana konsorsium Indonesia, kekurangan setoran modal karena cashflow yang berdarah-darah akibat pandemi. Di sisi lain, terjadi pembengkakan kebutuhan anggaran dari perkiraan awal sekitar Rp 86 T sekarang menjadi sekitar Rp 114 T, akibat adanya penyesuaian desain dan geografis.
Hal semacam ini tentunya hanya dapat terjadi karena perencanaan yang tidak matang, sehingga butuh banyak penyesuaian yang berakibat membengkaknya biaya hingga hampir 30 persen. Belum lagi prediksi saat operasional, nantinya ada kekhawatiran KA cepat itu sepi peminat. Sebab tarifnya tidak berpihak pada kemampuan rakyat.
Tarif termurah (Kelas 2) sekitar Rp 300 ribu dengan waktu tempuh 45 menit. Tarif ini jauh lebih mahal dibandingkan dengan tiket KA reguler yang hanya Rp 90 ribu- Rp125 ribu, atau dibandingkan dengan moda lainnya seperti bus dan travel yang hanya Rp 65 ribu-Rp110 ribu, dengan waktu tempuh yang tidak berbeda jauh.
Apalagi jika Ibu Kota Negara jadi pindah, tentunya sangat mempengaruhi aktivitas bisnis dan ekonomi di wilayah tersebut. Besarnya biaya pembangunan KA cepat dan kekhawatiran akan sedikitnya penggunanya, mestinya harus menjadi perhatian serius.
”Tidak salah jika kemudian kita memandang project KA cepat ini ternyata bukan untuk rakyat,” tegas Hamid. Karena, pada awalnya akan dibangun investor, tapi sekarang kenyataannya membebani APBN untuk mensubsidi investor.
Terkait ini, Hamid, mengingatkan jangan sampai keuangan negara terus terbebani oleh project tersebut, dan juga jangan sampai BUMN strategis seperti PT KAI terseret masalah keuangan, apalagi bila sampai memicu kebangkrutannya.
Berikutnya, juga jangan sampai KA reguler Jakarta-Bandung yang memiliki harga tiket lebih murah dan berpihak pada rakyat, nantinya dihapuskan guna membuka pasar bagi KA cepat. Berkaitan project KA cepat ini, pemerintah hendaknya bertanggung jawab dan mencari jalan keluar terbaik, ujar Hamid.
Bila pengembangan Transit Oriented Development (TOD) dapat membangkitkan penumpang, jangan sampai hanya menguntungkan segelintir developer besar. Pengembangan TOD, tambah Hamid, harus inklusif dan membuka kesempatan yang adil bagi semua pihak untuk berpartisipasi di dalamnya.
Komentar