Ketahanan Pangan, COVID-19, dan Perubahan Iklim
satunusantaranews, Jakarta - Pengembangan pangan sebagai penjamin kehidupan di tengah pandemi COVID –19 dan kaitannya dengan lingkungan dan ketahanan iklim sebagai penjamin untuk berkelanjutan pembangunan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menyelenggarakan diskusi Pojok Iklim secara virtual pada Rabu (20/1).
Ketahanan Pangan terkait erat dengan fenomena perubahan iklim yang berdampak langsung pada kapasitas produksi pertanian dan ketersediaan pangan.
Dalam sambutannya, Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Agus Justianto menyampaikan bahwa perubahan iklim memberi dampak buruk pada berbagai aspek kehidupan termasuk krisis pangan. Risiko kelangkaan pangan mengemuka sebagai efek disruptif dari pandemi COVID-19 dan berpotensi menyebabkan bencana kelaparan di berbagai tempat di penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Ketahanan pangan sebenarnya dapat tercapai jika bersinergi dan beriringan dengan ketahanan iklim. Dalam era new normal ini, seluruh dunia perlu untuk mendahulukan program ketahanan pangan, energi, dan air sebagai kebutuhan dasar manusia.
Selanjutnya, Guru Besar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Yunita Triwardini Winarto dalam pemaparannya menyampaikan bahwa dalam situasi perubahan iklim dengan konsekuensi yang semakin tidak menentu dan keragaman iklim yang semakin meningkat, diperlukan kemampuan tanggap dari para petani.
Dalam menyiasati kondisi itu agar pertanian dapat dipertahankan secara tangguh (sustainable). Suatu kegiatan pertanian yang adaptif pada konsekuensi perubahan iklim hanya dapat dicapai apabila para petani mampu melakukan antisipasi dan mengambil keputusan tanggap yang jitu guna menghindari risiko kegagalan panen.
“Program edukasi berkelanjutan dalam menyajikan jasa layanan iklim seperti yang dikembangkan melalui Warung Ilmiah Lapangan (The Science Field Shops) merupakan satu kasus percontohan yang dapat dipertimbangkan untuk disebarluaskan. Melalui jasa layanan iklim dalam suatu arena pembelajaran dialogis-partisipatif-interaktif dengan petani sendiri sebagai peneliti, pengantisipasi, dan pengambil keputusan dengan bekal pengetahuan secara lebih rinci dan mendalam atas dampak kondisi curah hujan tertentu pada lahan dan tanaman, jasa skenario iklim di masa datang untuk kurun waktu 3 bulan ke depan, serta pengalaman serupa di masa lalu, merupakan sarana belajar yang signifikan,” ujar Yunita Triwardini Winarto.
Menurut Yunita, keberhasilan suatu strategi yang ditetapkan sendiri oleh petani dalam kondisi iklim tertentu dapat meningkatkan keyakinan dirinya, dan keinginannya menyebarluaskan pada petani-petani lain dalam komunitasnya.
Apabila strategi itu diadopsi warga komunitasnya dalam menghadapi kondisi iklim yang serupa, suatu pertanian yang adaptif pada perubahan iklim diharapkan dapat terwujud.
Lebih lanjut, Peneliti Utama Badan Penelitan Tanah Kementerian Pertanian, Ai Dairah menyampaikan bahwa kedaulatan pangan sangat berarti di era pandemi COVID-19. Perubahan iklim, degradasi dan alih fungsi lahan serta pandemic COVID-19 menjadi tantangan sektor pertanian dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
“Pada masa adaptasi kebiasaan baru, Kementerian Pertanian melakukan pengalihan fokus kegiatan pembangunan pertanian pada tiga aspek, yaitu dukungan pencegahan penularan COVID-19, pengamanan ketersediaan pangan, dan distribusi jaring pengaman sosial (social safety net) lingkup pertanian melalui kegiatan padat karya untuk memastikan petani tetap aktif berproduksi. Untuk menjaga ketahanan pangan nasional pada jangka pendek dan menengah, diantaranya peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal, penguatan logistik dan cadangan pangan, dan pengembangan pertanian modern,” tambah Ai Dairah.
Ai Dairah juga menyampaikan beberapa rekomendasi untuk para pemangku kepentingan, diantaranya, untuk pencapaian tujuan pembangunan pertanian, agar memprioritaskan dan mengutamakan adaptasi dengan co-benefit mitigasi. Keterlibatan berbagai pihak dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam beradaptasi dan memahami perubahan iklim.
Sebagai penutup, Penasihat Senior Menteri KLHK, Soeryo Adiwibowo menyampaikan bahwa dalam mengadapi bencana lokal dan permasalahan global seperti COVID-19 dan Perubahan Iklim, ketahanan pangan yang adaptif menjadi sangat penting diperlukan agar masyarakat tetap terpenuhi kebutuhan pangannya.
Ketahanan pangan yang adaptif menghadapi persoalan COVID-19, perubahan iklim dan bencana lokal dapat menggunakan konsep yang ada di tingkat komunitas dengan traditional knowledge yang dimiliki, bekerjasama saling membantu dan berkolaborasi, serta saling berbagai pengalaman dan teknologi dalam memenuhi kebutuhan primer berupa pangan.
Komentar