Ekonomi Bisnis

Kinerja Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf di Bidang Energi Tahun 2021 Cenderung Merah

satunusantaranews, Jakarta — Kinerja Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf di bidang energi tahun 2021, menurut anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, prestasinya masih datar-datar bahkan cenderung merah. Masih belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Pemerintah perlu evaluasi secara mendalam tentang berbagai kebijakan energi. Jangan latah sekedar ambil muka dunia internasional atau mendewakan investor.

Harusnya benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan keamanan nasional. Transisi energi bersih, baik listrik maupun BBM menuju net zero carbon emmision, terkesan hanya anggota dan peserta didik oleh konstelasi global baik dalam skema/standar COP-26 maupun EURO-4, tanpa betul-betul menghitung dengan cermat konsekuensinya bagi rakyat, jelasnya. Akibat yang muncul, adalah kebijakan energi dengan harga mahal yang mengorbankan rakyat.

“Pemerintah secara serentak di akhir Desember 2021 dan di awal tahun 2022 telah dan akan menaikan harga gas LPG, tarif listrik dan menghapus Premium, yang menyisakan BBM mahal,” jelas Mulyanto. Secara khusus, kinerja sektor migas baik import, lifting, maupun pembangunan kilang masih merah. Impor migas, terutama BBM dan LPG, menurun, bahkan terus melonjak, yang membuat bengkak transaksi berjalan.

Defisit transaksi berjalan sektor migas untuk tahun 2021 diperkirakan meningkat menjadi USD 11 juta. Padahal pada tahun 2019 hanya sebesar USD 10 miliar dan bahkan pada tahun 2020 hanya sebesar USD 6 miliar.

Lifting minyak kita memiliki target 1 juta bph (barel per hari) di tahun 2030. Namun anehnya, target lifting tahunan naik, malah terus melorot. Target lifting minyak tahun 2019, 2020, 2021 dan tahun 2022 masing-masing sebesar 775, 755, 705 dan 704 bph. Terus turun. Mana mungkin tercapai kalau tren-nya seperti ini. Sementara realisasinya setiap tahun selalu di bawah target.

“Dengan lifting yang terus turun dan penggunaan bbm yang masih meningkat, maka impor minyak tetap bengkak dan menguras devisa negara,” ungkap Mulyanto.

Di sisi lain, kemampuan kita untuk mengolah BBM secara domestik masih lemah. Dari total 6 buah kilang yang ada, Pertamina baru mampu mengolah BBM sebanyak 850 – 950 ribu bph. Setengah dari kebutuhan domestik, ujar Mulyanto.

Sejak pengoperasian RU VII Kasim di Papua pada tahun 1997, hampir 25 tahun, tidak ada lagi pembangunan kilang baru. Pembangunan kilang Bontang juntrungannya. Kilang Tuban, jadwalnya terus molor. Sementara itu kebakaran kilang Pertamina hampir terjadi setiap 3 bulanan. Di Cilacap, Balongan dan tempat lainnya. Ini sungguh sungguh, imbuhnya.

Sementara terkait kinerja sektor ketenagalistrikan, Mulyanto melihat masih biasa-biasa saja. Menurutnya rasio elektrifikasi masih jauh di bawah seratus persen. Dua tahun yang lalu ditargetkan mencapai seratus persen namun tetap molor. Tahun 2021 target itu kembali tidak tercapai.

Mulyanto menyebut hingga saat ini sedikitnya ada 433 desa yang belum teraliri listrik dengan jumlah Rumah Tangga (RT) sebanyak 483.012 RT. Bahkan ada daerah yang mengambil listrik, seperti Kalimantan Barat adopsi listrik 110 MW dari Serawak pada tahun 2020 dan terus berlanjut di tahun 2021.

Namun demikian, di Jawa dan Sumatera terjadi surplus listrik lebih dari 30 persen, apalagi ketika pembangkitan baru dari program 35.000 MW sudah mulai berproduksi. Karena PLN harus membayar listrik yang tidak diperlukan, karena adanya finalti TOP (take or pay) dari listrik swasta.

“Akibatnya keuangan PLN semakin tertekan utang yang lebih dari Rp 500 triliun. Dan yang utama adalah antara Indonesia bagian Barat dan Timur semakin menganga,” jelas Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.

“Terakhir adalah kinerja subsektor sumber daya mineral. Yang paling penting adalah nikel. Saya menilai Pemerintah masih setengah hati dalam menjalankan program hiirisasi nikel ini.

Industri peleburan kita hanya memproduksi nikel matte dan NPI (nickel pig iron), dengan nilai tambah yang rendah. Padahal diharapkan diharapkan terjadi produk nikel ini, baik berupa stainless steel, baterai listrik, baja tahan karat, bahkan mobil listrik. Bukan sekedar bahan baku setengah jadi.

Negara sudah banyak berkorban untuk program hilirisasi nikel ini. Baik melalui pelarangan ekspor bijih nikel, di saat harga nikel internasional, maupun berupa pembebaskan pajak PPh Badan untuk industri smelter. hasil, penerimaan negara dari PPh Badan Industri Peleburan; royalti nikel, dan pajak ekspor bijih nikel menjadi nihil. Belum lagi datangnya buruh TKA (tenaga kerja asing), yang mengambil pasar tenaga kerja kita.

Kebijakan itu dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan industri asing. Sementara hasilnya hanya setengah jadi yang diekspor untuk keperluan industrialisasi Cina. Ini tidak optimal,” tandas Mulyanto.

Leave a Comment