satunusantaranews, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan RCTI dan iNews TV yang menggugat UU Penyiaran dan meminta siaran di internet, seperti YouTube, juga harus tunduk ke UU Penyiaran dan diawasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Menurut MK, Konten YouTube dkk di internet tunduk ke UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), begitupun sebaliknya. Hal tersebut menjadi penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan untuk seluruhnya, RCTI dan iNews TV yang menggugat UU Penyiaran dan meminta siaran di internet, seperti YouTube, juga harus tunduk ke UU Penyiaran dan diawasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Demikian ungkap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang MK yang disiarkan lewat channel YouTube MK, Kamis (14/1/2021). Menurut MK, konten yang bermuatan pornografi, SARA, ungkapan kebencian, pelanggaran kekayaan intelektual sudah diatur oleh UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), termasuk UU lain yang mengatur norma terkait.
RCTI dan iNews, sebelumnya meminta setiap siaran yang menggunakan internet, seperti YouTube hingga Netflix, tunduk pada UU Penyiaran. Bila tidak, RCTI-iNews khawatir muncul konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Mereka pun mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi bahwa Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Bahwa apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa,” demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas itu.
Pihak RCTI dan iNews TV juga menyingung soal tanggung jawab moral. RCTI dan iNews bukan ingin kebiri kreativitas medsos, uji materi UU Penyiaran untuk kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa, jelas Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik dalam keterangannya.
Sementara Anggota DPRRI, Habiburokhman menyoroti dalil pemohon yang menilai layanan over the top (OTT) yang tidak diakomodir di UU Penyiaran menyebabkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan penyiaran.
Akan tetapi, Habiburokhman menjelaskan yang diatur dalam UU Penyiaran adalah siaran yang melalui sarana pemancaran dengan menggunakan spektrum radio yang ditetapkan pemerintah sehingga layanan OTT tidak termasuk yang diatur di UU Penyiaran.
Terhadap perbedaan antara aktivitas penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio yang dipancarkan secara serentak dan bersamaan yang disandingkan dengan layanan OTT yang menggunakan internet dengan spektrum frekuensi radio yang dimungkinkan tidak dipancarkan secara serentak dan bersamaan.
Hal tersebut tidak relevan dijadikan alasan menyebabkan ambiguitas dan ketidakkepastian dan kepastian hukum mengenai definisi penyiaran karena pasal aquo, tegas Habiburokhman.
Disisilain, BuruhOnline Tv yang berada di bawah PT Fidzkarana Cipta Media mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam judicial review UU Penyiaran yang digugat oleh RCTI-iNews Tv ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab bagi BuruhOnline Tv, gugatan RCTI itu bisa membahayakan dunia internet bila dikabulkan.
“Sehingga, apabila permohonan tersebut dikabulkan MK, maka youtuber yang selama ini menggunakan internet dalam menyebarluaskan konten berisi audio visual, juga dikualifikasi sebagai subyek hukum pada UU Penyiaran. Dan karenanya, youtuber harus berbadan hukum dan memiliki izin siar,” kata kuasa hukum PT Fidzkarana Cipta Media, Viktor Santoso Tandiasa.
Sedangkan terhadap kekhawatiran RCTI soal adanya konten-konten yang disajikan non-lembaga penyiaran yang dianggap akan bertentangan dengan Pancasila, kata Viktor, sesungguhnya telah terdapat beberapa metode atau proses hukum yang dapat digunakan untuk menyaring konten. Contohnya YouTube memiliki ketentuan mengenai Kebijakan dan Keamanan.
Seperti konten yang dilarang untuk diunggah ke YouTube di antaranya adalah berisi seksual atau ketelanjangan, yang merugikan atau berbahaya hingga hak cipta. Bahkan konten-konten yang bermasalah tersebut, selain dapat diblokir oleh Kemenkominfo, juga dapat dijerat dengan sanksi pidana kesusilaan, perjudian, penghinaan hingga pengancaman.
Oleh karenanya, permohonan INewsTV dan RCTI, sepatutnyalah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, tegas Viktor.
Namun demikian, layanan OTT merupakan bagian dari perkembangan telekomunikasi seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Sehingga terhadapnya, perlu diatur regulasi khusus yang tidak mempersamakan pengaturan layanan siar menggunakan frekuensi radio dengan yang memanfaatkan layanan internet, papar Viktor.
Sedangkan Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik, membantah bila materi judicial review ke MK bisa mengganggu penyiaran di media sosial. Bahkan, uji materi UU Penyiaran guna mendorong kesetaraan dan tanggungjawab moral konstitusional.
“Itu tidak benar. Permohonan uji materi RCTI dan iNews tersebut justru dilatarbelakangi keinginan untuk melahirkan perlakuan dan perlindungan yang setara antara anak-anak bangsa dengan sahabat-sahabat YouTuber dan Selebgram dari berbagai belahan dunia dan mendorong mereka untuk tumbuh, meningkatkan kesejahteraan mereka dan berkembang dalam tataran kekinian,” tutur Taufik.
Leave a Comment