M Syukur: DPD Tidak Anti Partai Politik, Parpol Harus Diberi Peran Bukan Dipasung

M Syukur: DPD Tidak Anti Partai Politik, Parpol Harus Diberi Peran Bukan Dipasung
M Syukur: DPD Tidak Anti Partai Politik, Parpol Harus Diberi Peran Bukan Dipasung

satunusantaranews, Jakarta - M. Syukur, anggota DPD RI asal Provinsi Jambi menegaskan DPD tidak anti partai politik (parpol). pernyataan ini dirinya sampaikan di hadapan 50an peserta Training of Trainer dari berbagai organisasi kemasyarakatan yang diselenggarakan Kelompok DPD di MPR bersama Tali Foundation, 7 - 9 November di Hotel Aston Bekasi.

Dalam sistem politik, parpol merupakan salah satu pilar demokrasi dan DPD selama ini komunikasi cukup baik dengan partai politik, bahkan sangat baik. Karena itu, dalam kerangka meningkatkan kualitas demokrasi, parpol haruslah diberi peran, bukan dipasung.

Namun demikian, tambah Sekretaris Kelompok DPD itu, atas nama kualitas demokrasi itu pula parpol perlu memberi ruang lebih luas kepada proses politik .

Seperti kita ketahui bersama, pasangan presiden dan wakil presiden sesuai Pasal 6A Ayat 2 UUD NRI 1945 diusung oleh partai politik dan atau
gabungan partai politik. Ketentuan ini ditambah lagi dengan ketentuan UU Pemilu yang mensyaratkan ambang batas (presidential threshold) 20%.

“Ketentuan tersebut jelaslah tidak sejalan dengan spirit sistem demokrasi,” tegasnya, sembari memaparkan bahwa parpol atau gabungan parpol silakan mengajukan pasangan capres-cawpres. Tapi, kandidat lain non parpol juga perlu diberi ruang sebagai calon perseorangan atau independen.

Ketika pemilihan kepala daerah (provinsi, kabupaten/kota) diberi ruang untuk calon perseorangan atau independen, mengapa untuk posisi kepresidenan tidak diberi ruang yang sama? Jelas, itu tidak konsisten dengan prinsip demokrasi. Tidak fair dari sisi artikulasi Hak Asasi Manusia (HAM).

Lebih jauh, M. Syukur menggambarkan, saat ini telah terjadi kristalisasi/ koalisi partai politik yang bergabung tujuh partai, yang menjadi persoalan, jika kristalisasi atau koalisi itu dipertahankan sampai pemilihan presiden maka dua partai yang tersisa tidak mencukupi 20 %.

Maka kedua partai tersebut tidak akan bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden 2024 karena dibatasi oleh syarat dalam undang-undang, maka dapat dipastikan pada pilpres 2024 ini hanya ada satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Ketika sebagian rakyat tidak mau memilih pasangan tersebut lalu dijawab dengan Kotak Kosong, dan ternyata kotak kosong itu sebagai pemenang, lalu bagaimana nasib ketatanegaraan kita dari hasil kotak kosong itu? Reaksi politik dengan kotak kosong bukanlah hanya gagasan. Hal itu pernah terjadi di pemilihan Kota Makasar dan dimenangkan oleh kotak kosong”, paparnya.

Jadi, tegas M. Syukur lagi, untuk dan atau atas nama kualitas demokrasi di Indonesia ini, sudah selayaknya diakomodir ruang calon perseorangan atau independen itu. Bahwa perlu diterapkan persyaratan berapa persen dengan melampirkan dukungan publik atau dalam bentuk fotocopy KTP seperti halnya calon anggota DPD, atau syarat lainnya itu silahkan saja.

Yang penting negara ini sudah mengakomodir memberi ruang kepada calon pemimpin bangsa negara non partai politik. namun, secara prinsip demokrasi, ketika ruang itu dibuka sudah menggugurkan tudingan bahwa negeri ini menganut sistem politik diktator yang diatur oleh oligarki parpol.

Mencermati arah pemikiran dan sikap politik M. Syukur, Muslim Arbi dari ormas Persaudaraan Muslim Indonesia berharap besar bahwa DPD harus mampu memperjuangkan calon perseorangan atau independen itu. Hanya kepada DPD, rakyat ini bisa menitipkan kepentingan hak asasi politik ini dalam kaitan pilpres.

“Hal ini sangat mendasar dan urgen. Sebab, masa depan negara banyak ditentukan oleh hasil presiden. Karena itu proses dan mekanismenya juga harus demokratis. Dalam kerangka inilah, ada urgensi kuat tentang dihilangkannya prosentasi presidential threshold (PT). Kalau tetap menggunakan PT, ya O%”, ujar aktivis perubahan ini.

Penulis: A.A Pribadi
Editor: Nawasanga

Baca Juga