satunusantaranews, Jakarta – Anggota Komisi V, Suryadi Jaya Purnama berpendapat, alasan yang menjadi pertimbangan pemindahan Ibu Kota Negara ini beserta konsekuensinya harus diketahui masyarakat luas secara rinci.
“Banyaknya pertanyaan yang muncul di masyarakat membuktikan bahwa persiapan Pemerintah dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU IKN tidak melibatkan partisipasi masyarakat,” jelas pria yang akrab disapa SJP (2/10).
Tidak adanya diskusi publik yang dilakukan dalam penyusunan Naskah Akademik RUU IKN, kata SJP, menyebabkan beberapa pakar mempertanyakan dan menyampaikan pendapatnya melalui berbagai media dan berharap adanya ruang untuk berdiskusi terkait wacana pemindahan Ibu Kota Negara ini.
“Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab pemindahan Ibu Kota Negara ini tentunya bukan tanpa resiko, baik itu dari segi pembiayaan maupun dari sisi pemilihan lokasinya yang belum tentu bebas bencana,” tandasnya.
Terkait adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini, ungkap SJP, disebutkan dalam Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan baik tertulis dan/ataupun lisan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya dan/atau diskusi. Hal ini pun ditegaskan pula dalam lampiran UU No.12 Tahun 2011 terkait sistematika Naskah Akademik dimana disebutkan bahwa salah satu metoda penyusunan Naskah Akademik adalah dengan menggunakan metoda yuridis normatif yang dilakukan melalui studi pustaka dengan menelaah data sekunder yang dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat,” papar Anggota FPKS Asal NTB ini.
Oleh sebab itu, tegas SJP, FPKS menolak pembahasan RUU IKN karena proses penyusunannya yang tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat luas.
“Apalagi di saat pandemi yang masih belum usai ini, sudah barang tentu perhatian masyarakat lebih tertuju pada pemulihan ekonomi dan kesehatan. Seharusnya Pemerintah membersamai masyarakat dalam penanganan pandemi ini,” urainya.
Jangan sampai, tegas SJP, kurangnya diskusi publik akibat masih berlangsungnya pandemi kemudian menyebabkan Naskah Akademik dan RUU yang dibuat menjadi tidak berkualitas.
“Hal ini bercermin pada pengalaman saat pembahasan UU Cipta Kerja, dimana Naskah Akademik yang diberikan minim penjelasan dan tidak berkualitas, masyarakat luas tidak dilibatkan serta pembahasannya dilakukan dengan sangat terburu-buru sehingga banyak kesalahan disana-sini, yang akibatnya menimbulkan kontroversi dan bahkan langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi,” ungkap SJP.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu menyerahkan Surpres terkait Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN). Surpres tersebut diantar langsung oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Nasional Suharso Monoarfa ke DPR (29/09).
RUU Ibu Kota Negara ini terdiri dari 34 pasal dan 9 bab yang berisi visi ibu kota negara, pengorganisasian, penggunaan, hingga pembiayaannya. Seperti diketahui Presiden Joko Widodo dan jajarannya dalam beberapa kesempatan telah berungkali mengungkapkan rencananya untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Penajam Passer Utara, Kalimantan Timur.
Namun demikian hingga kini belum pernah ada penjelasan atau paparan yang rinci mengenai alasan serta konsekuensi berupa manfaat dan resiko dari pemindahan Ibu Kota Negara tersebut.
Leave a Comment