Oleh. Dr. Karolus Budiman Jama, M.Pd
Satunusantaranews–NTT. Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Langke Rembong dalam usianya yang ke 40 makin ranum menata karakter siswa-siswinya.
Dalam rangka perayaan 40 tahun sekolah ini, mereka mempertunjukan karya seni tradisi. Sebagai master piece karya seni, estetika Caci menjadi pilihan khusus dalam memeriahkan acara panca windu.
Estetika ini memuat nilai yang kuat untuk membetuk karakter masyarakatnya. Termasuk siswa-siswi SMA N 2 Langke Rembong sebagai generasi pendukung estetika ini.
Estetika Caci: Perekam Filsafat Budaya Manggarai
Setiap seni baik klasik, modern, maupun yang tradisi memiliki pendasaran dalam proses karya. Seni tradisi dalam proses karya didasari oleh filosofis yang kuat. Ia dihasilkan dari sebuah refleksi panjang dalam proses pertunjukannya.
Estetika Caci etnik Manggarai tidak serta merta muncul begitu saja. Karya yang sempurna ini melewati tahap yang panjang. Seperti sebuah emas murni, estetika ini ditempa dan dilebur menjadi sebuah karya yang monumental.
Estetika Caci dalam tradisinya dipertunjukan untuk lima peristiwa adat penting yaitu, perkawinan (wagal), tahun baru adat (penti), peresmian rumah adat (congko lokap), pembukaan lahan baru (lingko randang), dan kematian (kelas mese) khusus di wilayah Rongga Manggarai Timur.
Caci dalam sejarah dan epistemologis didasari oleh hal-hal berikut.
Pertama, estetika Caci adalah peralihan perkembangan peradaban budaya etnik Manggarai. Etnik Manggarai awal mulanya hidup berpindah-pindah (nomaden).
Karena kemampuan berpikir dan membaca alam semakin maju, cara hidup mulai berubah. Mereka hidup menetap dan bertani dengan menanm benih kacang-kacangan, umbi-umbian, jagung, sorgum dan sayur-sayuran.
Dalam lingustik kebudayaan imajeri yang dibangun melalui peralihan peradaban ini dituturkan dalam metafora “dari mata pedang menuju mata bajak”. Etnik Manggarai menyadari betul tentang keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan (biosentris).
Dalam perkembangan fisafat pengetahuan, etnik manggarai telah sampai pada pemikiran biosentris. Mereka melampaui cara bepikir teosentris, antroposentris, dan kosmosentris. Etnik ini menyadari pengetahuan itu berada pada lingkungan dan setiap mahluk hidup berhak untuk hidup dan berkembang.
Kedua, estetika Caci adalah pengetahuan membangun relasi yang harmonis dengan alam, manusia dan wujud tertinggi. Masa lalu etnik Manggarai diwarnai oleh pertikaian antara kampung. Untuk meminimalisir pertikaian itu, estetika Caci dipertunjukkan. Pertunjukan ini untuk mengolah potensi kekerasan dalam diri manusia. Baik kekerasan terhadap sesama manusia juga terhadap alam.
Relasi yang dibangun dalam estetika Caci adalah relasi kolektivitas. Jika menyaksikan pertunjukan Caci dalam peristiwa adat, semua penonton akan dijamu dalam makan dan minum bersama. Memberi makan dan minum kepada semua penonton adalah wujud nyata dari kebersamaan. Karena itu membalas kebaikan dengan kebaikan melalui kunjungan balasan untuk pertunjukan Caci.
Setiap mereka yang hadir akan memberi sesuatu yang bernilai untuk menjaga relasi itu. Dalam pertunjukan Caci, orang-orang saling berkenalan, menjaga sikap dan tutur kata agar tidak menimbulkan ketersinggungan. Menunjukan sikap dan perilaku yang baik adalah pemberian yang bernilai itu.
Ketiga, estetika Caci adalah sebuah tindakan pengakuan terhadap sebuah peristiwa. Peristiwa itu antara lain; pengakuan tanah ulayat (lingko). Pertunjukan Caci yang dilaksanakan dalam peristiwa pembukaan lahan baru (lingko randang) adalah sebuah legitimasi terhadap sebuah tanah ulayat. Hal ini untuk menghindari perebutan atau klaim hak kepemilikan tanah dari sebuah kampung adat oleh kampung adat lainnya;
Peresmian rumah adat dan perayaan tahun baru adat. Pertunjukan Caci yang dilaksanakan dalam dua peristiwa ini adalah penegasan peralihan dari ruang sakral ke ruang rutin. Hal ini sebagai tanda untuk memasuki aktivitas secara normal sebagai petani saat itu;
Pertunjukan Caci saat perkawinan (Caci wagal) adalah sebuah pengakuan bahwa segala urusan yang berkaitan dengan maskawin atau belis telah terpenuhi.
Caci kematian adalah sebuah tanda bahwa arwah yang meninggal tidak mengikat orang yang hidup. Dalam arti, seluruh keluarga yang ditinggalkan dapat melakukan aktivitas keseharian untuk bekerja.
Keempat, estetika Caci adalah ruang pemurnian. Setiap seniman Caci wajib menjaga moral dan etika dalam pergaulan. Ia tidak boleh melakukan hal-hal yang melanggar mitologi tertentu sebelum melakukan pertunjukan Caci. Misalnya menyentuh perempuan, bertengkar dengan keluarga, atau hal-hal yang dianggap tabu dalam budaya Manggarai.
Simbol yang kuat dalam pertunjukan Caci sebagai ruang pemurnian adalah alat penangkis (nggiling agu agang). Alat penangkis ini simbol Ibu Bumi dan Bapa Langit. Karena itu, seniman wajib berlutut saat menerima dan memberi agang dan nggiling.
Dalam bacaan hermeneutik, alat penangkis simbol ayah dan ibu yang selalu menjaga dan menghidupi. Juga simbol wujud tertinggi yang mengendalikan alam semesta. Dengan demikian, sedapat mungkin seorang seniman Caci menjaga kemurnian diri sebelum pertunjukan Caci.
Kelima, estetika Caci adalah rumusan imajiner etnik Manggarai tehadap Rumah adat (mbaru gendang), batu atau mesbah persembahan (compang bate dari), halaman kampung (natas bate labar), air (wae bate teku), dan kebun (uma bate duat).
Estetika Caci dan Pendidikan Karakter
Pertunjukan Caci yang diselenggarakan oleh SMA N 2 Langke Rembong adalah sebuah ekspresi dan apresiasi terhadap seni tradisi. Sekolah ini sejak berdirinya konsen terhadap seni-seni tradisi. Kuatnya arus globalisasi terutama seni-seni populer tidak menyurutkan semangat mereka dalam melestarikan seni tradisi.
Saya ingat betul, hampir setiap peringatan hari kemerdekaan, SMA N 2 Langke Rembong selalu menujukan warna daerah dalam garapan seni mereka. Dalam kegiatan drum band sekalipun.
Mempertunjukan estetika Caci adalah sebuah kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter berbasis budaya dan seni lokal. Tidak salah sekolah ini dalam ulang tahunnya yang ke-40 mempertunjukan estetika Caci. Mempertunjukan Caci merupakan cara menggali nilai-nilai budaya sekaligus menanamkan budaya lokal dalam diri siswa.
Estetika Caci di dalamnya menyimpan berbagai pengetahuan dan rool model pendidikan karakter.
Pertama, estetika Caci merepresentasikan kerja keras dan ketekunan. Kesuksesan seorang siswa diraih melalui ketekunan dan kerja keras. Seorang seniman Caci, untuk luput dari bahaya luka pada wajah (beke) harus melewati beberapa tahap dalam pertunjukan Caci. Demikian seorang pelajar, ia harus melawati berbagai tahap untuk mencapai kesuksesan.
Kedua, kesabaran. Saat pertunjukan Caci, seorang seniman Caci harus mampu mengolah emosi. Mengolah emosi dalam pertunjukan Caci akan memberi sebuah kenyamanan bagi dirinya dan juga bagi kelompoknya. Sebab, luka yang dialami oleh salah satu seniman Caci merupakan luka bersama kelompoknya. Untuk itu seorang siswa harus mengolah emosi dan sikapnya untuk meraih cita-citanya. Karena, kegagalan seorang siswa adalah kegagalan seluruh sekolah.
Ketiga, berpikir kritis. Seorang seniman Caci memiliki daya kritis dalam melakukan pertunjukan Caci. Ia harus mampu membaca gerakan lawan dan posisi lawan saat memukul (paki) atau saat menangkis (taang). Seorang siswa juga dituntut untuk memiliki daya kritis dalam menganalisis materi pelajaran. Ia tidak boleh menerima begitu saja segala informasi yang berseliweran di dunia maya. Melainkan memiliki sikap kritis terhadap informasi yang diterimanya.
*Penulis adalah alumni angkatn 1997 SMA N 2 Langke Rembong. Saat ini sebagai Dosen Seni dan Koordinator Prodi Magister Ilmu Linguistik Program Pascasarjana Undana*
Leave a Comment