Menelisik Pendanaan Sebagai Unsur Penting Terorisme
satunusantaranews, Jakarta - Pemerintah dalam menanggulangi terorisme tak tanggung-tanggung, dengan berbagai pendekatan yang dilakukan. Baik melalui berbagai pihak yang dilibatkan, berbagai potensi dan celah yang memungkinkan terjadinya aksi teror juga ditutup rapat. Yang terakhir ini berkaitan dengan pendanaan, sebagai unsur penting terorisme. Sekalipun para teroris dan kelompok terornya dikutuk penduduk sedunia, mereka masih bisa beroperasi. Tidak lain itu karena satu alasan: dana.
Dalam buku Pendanaan Terorisme di Indonesia, karya Prihandoko dkk., dijelaskan bahwa keterlibatan korporasi dalam pendanaan terorisme dan juga mekanisme penggalangan dan pengelolaan dana aksi teror mempunyai dua entitas yang bergerak di bawah tanah (underground movement) alias operasi senyap, yakni Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK) dan Azzam Dakwah Center (ADC).
Dua korporasi tersebut berada dalam dua periode yang berbeda, namun keduanya memiliki kesamaan yaitu bertindak sebagai ‘Korporasi Selubung’ dari korporasi induknya, yakni Jemaah Islamiyah (JI) dan Jemaah Ansharud Daulah (JAD). Keduanya juga melakukan penggalangan dana dari masyarakat dan menyalurkannya untuk kebutuhan aksi terorisme.
Baru-baru ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meluncurkan platform pertukaran informasi pendanaan terorisme, yang dilakukan pada (2/8) kemarin. Platform tersebut merupakan terobosan berupa integrasi peran PPATK sebagai lembaga intelijen keuangan dengan kementerian lembaga dan penyedia jasa keuangan untuk bertukar informasi seputar pendanaan terorisme sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa keberadaan platform pertukaran informasi itu akan meningkatkan koordinasi, yang diharapkan dapat mempercepat deteksi dini terduga terorisme dari aliran dana yang digunakan untuk menjalankan aksi teror.
Platform tersebut juga diharapkan dapat mendeteksi dugaan aktivitas pendanaan terorisme di lintas negara. Selain PPATK, Penyedia Jasa Keuangan memiliki akses terhadap platform tersebut.
Kemudian Kementerian/Lembaga yang terdiri atas BNPT, BIN, Densus 88 Polri, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI memiliki akses untuk pelaksanaan tugas pencegahan dan pemberantasan terorisme dalam bentuk perolehan informasi dalam waktu 1 x 24 jam.
Integrasi antar kementerian dan lembaga ke dalam satu platform tersebut menyiratkan dua fakta penting. Yakni, Pertama; kompleksitas terorisme. Seandainya terorisme persoalan kecil, sejak dulu ia sudah habis diberantas. Terorisme bahkan setua kemerdekaan RI sendiri, tetapi hingga kini belum dijumpai sinyal-sinyal kematiannya—hanya berubah nomenklatur organisasi. Semua elemen pemerintahan harus bersatu, agar kontrolnya mencapai tingkat ketat maksimum.
Kedua; luasnya jaringan pendanaan kelompok teror. Teroris mempunyai langkah yang lebih jauh dan cepat dari yang diperkirakan. Jaringan mereka sudah matang karena bersifat transnasional, terafiliasi dengan kelompok teror internasional yang strateginya sempurna.
Mereka memakai strategi Al-Qaeda atau ISIS yang sudah berpengalaman melakukan intrik teror pada Amerika Serikat, sementara di Indonesia masyarakatnya belum memahami siasat mereka. Dengan demikian, platform integratif yang diluncurkan PPATK tersebut jelas sangat krusial dalam rangka mencegat pendanaan terorisme.
Dengan mengawasi dana, pemerintah sudah melakukan tracing dari hulu, mengusut penipuan-penipuan teroris yang sering kali berkedok santunan dan amal jariah. Kalau pendanaan sudah aman, teroris akan miskin dan tidak ada biaya operasi.
Tetapi apakah berarti terorisme akan tuntas? Belum. Perlu langkah integratif yang berkelanjutan. Teror adalah dendam ideologis, maka selama ideologi yang mereka perjuangkan belum tegak, mereka akan selalu mengusik dengan segala cara. Penanggulangannya adalah upaya yang up to date. Sesuai dengan apa aksi para teroris, pencegatan dilakukan secara sebanding agar efektif.
Suatu hari, platform semacam itu bisa jadi tidak efektif karena teroris memiliki cara baru lainnya, maka pencegahan harus pula menyesuaikan diri. Hal ini yang disebut totalitas dalam menanggulangi terorisme, yang pencegatan dana merupakan bagian di antaranya. Tidak peduli presiden berganti, totalitas harus selalu terbentuk agar teroris benar-benar kehabisan ruang dan intrik aksi.
Pemerintah sudah menciptakan langkah yang tepat dengan platform pertukaran informasi tindak pidana terorisme. Apresiasi layak didapatkan. Kendati begitu, cara tersebut bukan sesuatu yang absolut dan final, karena teroris akan segera menemukan cara baru untuk melancarkan aliran pendanaannya.
Atas semua itu, sampai di sini, pendanaan terorisme sudah menemukan cara penanggulangannya. PR-nya adalah, seberapa jauh masyarakat dan pemerintah saling bersinergi integratif memerangi terorisme dengan totalitas? Itulah kunci utamanya.
Komentar