Mengenai Vaksinasi Berbayar, Seharusnya Kebijakannya Dibatalkan
satunusantaranews, Jakarta - PT Kimia Farma (Persero) Tbk memutuskan untuk membatalkan pelaksanaan vaksinasi individu atau vaksinasi berbayar, yang semula akan mulai dilaksanakan pada Senin (12/7). Terkait pembatalan tersebut, Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno Putro mengatakan, perseroan bakal menunda pelaksanaan vaksinasi berbayar hingga waktu yang tidak ditentukan.
Mengenai hal ini, Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin menanggapinya bahwa tidak boleh menggunakan kata penundaan, seharusnya mesti dibatalkan kebijakannya. Sebab posisi pemerintah saat kondisi bencana kemanusiaan akibat dari pandemi saat ini tidak boleh membuka ruang pengambilan keuntungan (dari penjualan vaksin) dengan dalil apapun.
"Justru seharusnya sekarang sebesar-besarnya pelayanan kesehatan harus dilaksanakan pemerintah kepada seluruh masyarakat", ujar Sultan.
Jika ada vaksinasi berbayar dari negara kepada rakyatnya pasti akan melukai rasa keadilan serta berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial. Fungsi negara itu adalah melindungi seluruh rakyatnya. Dalam kondisi bencana pandemi Covid-19, tidak ada boleh pembedaan perlakuan terhadap orang yang mampu ataupun tidak mampu. Semua harus mendapatkan rasa keadilan, tegasnya.
Sultan juga melanjutkan, bahwa yang harus dievaluasi adalah strategi dan target vaksinasi yang dicanangkan pemerintah dengan target satu juta per hari. Kekebalan komunal melalui vaksin secara masif adalah langkah pemerintah dalam melawan Pandemi Covid-19. Hanya saja mesti dievaluasi khusus apakah strateginya sudah tepat dan sesuai capaian terhadap target satu juta per hari.
Sultan juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi strategi vaksinasi yang dinilai kurang tepat sasaran dan tidak berorientasi kepada ketahanan kinerja ekonomi nasional.
Menurutnya, tingginya angka kasus positif di tengah gencarnya kegiatan vaksinasi di masyarakat yang bahkan ditargetkan hingga satu juta vaksin per hari justru tidak memberikan dampak yang berarti terhadap penurunan kasus positif harian. Artinya proses vaksinasi yang dilakukan selama ini belum efektif memotong mata rantai polarisasi penyebaran virus Corona.
"Ini karena pemerintah juga mempertimbangkan geliat aktivitas ekonomi nasional agar terus berputar. Namun kita lupa bahwa yang menggerakkan roda ekonomi nasional adalah 140 juta tenaga kerja Indonesia yang saat ini masih aktif berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya di tengah ancaman pandemi Covid-19", ungkap mantan ketua HIPMI bengkulu ini.
Oleh karena itu, menurut Sultan, selain tenaga kesehatan, tenaga pendidik, dalam sudut pandang lainnya seharusnya kelompok tenaga Kerja adalah objek vaksinasi prioritas yang utama jika kita ingin menekan angka kasus positif harian sekaligus menyelamatkan ekonomi nasional.
"Jadi, kalau alasan pemerintah menerapkan vaksin berbayar untuk mempercepat proses pemerataan vaksinasi bagi masyarakat itu tidak tepat," tandasnya.
Dan pada kesempatan ini, Sultan juga meminta pemerintah tetap fokus membangun alternatif Rumah Sakit Darurat dengan dukungan fasilitas penanganan yang optimal bagi pasien penderita Covid-19. Penambahan dan peningkatan infrastruktur pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat adalah prioritas kebutuhan yang mesti disiapkan pada saat ini.
"Sebab kita harus menyiapkan diri dalam skema terburuk sekalipun untuk menyelamatkan masyarakat Indonesia", tutupnya.
Komentar