Opini

Mengenang Runtuhnya Tembok Berlin 32 Tahun Yang Lalu

satunusantaranews, Berlin – 32 tahun yang lalu pada hari ini terjadi sebuah sejarah yang akan merubah seluruh wajah dunia. Sebuah tembok yang selama bertahun-tahun menjadi saksi perbedaan politik akhirnya runtuh menjadi puing-puing tak bersisa. Yang menarik, awal keruntuhan berasal dari sebuah pernyataan seorang pejabat yang ternyata salah menduga. Tetapi gelombang euphoria yang terjadi kemudian akhirnya bisa menumbangkan lambang keangkuhan yang mencoba untuk membelenggu anak manusia.

 

Setelah kemenangan sekutu melawan Nazi dalam perang dunia kedua, wilayah Jerman kemudian terbelah menjadi bagian Timur dan Barat. Sebelah timur menjadi bagian dari blok komunis dan sosialis yang dimotori oleh negara beruang merah Rusia yang menutup diri rapat-rapat. Walaupun nama resminya adalah Republik Demokratik Jerman, tetapi perkataan demokrat hanyalah sebagai pemanis atau sebuah bentuk siasat. Soviet Union menjadi panutan serta idola dengan sistem pemerintahan yang cenderung diktator dan sebenarnya mereka hanyalah boneka yang diperalat.

 

Segera setelah garis demarkasi ditarik oleh pihak Amerika dan Rusia, mereka juga membelah kota Berlin yang secara geography sebenarnya terletak di Jerman Timur, untuk menjadi dua bagian. Penduduk kota sebelah timur tidak begitu menyadari akibat dari permainan politik ini dan menganggap sesuatu yang mudah serta aman karena trem dan bus masih melayani route hilir mudik menyeberangi perbatasan. Penduduk bekerja atau menonton theater di sisi yang berbeda dan masih bisa saling kunjung mengunjungi, menemui teman, saudara ataupun handai tolan. Walaupun pernah ada usaha untuk mengembargo Berlin Barat selama satu tahun, tetapi secara umum keadaan tenang-tenang saja tanpa banyak ada gangguan.

 

 

Di bawah kontrol negara, ekonomi cukup membaik sebenarnya dan pemerintah Jerman Timur memenuhi berbagai kebutuhan pangan dan perumahan dengan berbagai limpahan subsidi. Tetapi lama kelamaan terasa ada tekanan batin, baik yang terlihat secara terang-terangan atau pelan-pelan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Anak-anak muda kaum terpelajar seperti insinyur, dokter serta para guru-guru merasa gerak-gerik mereka selalu diawasi dan diamat-amati. Pembicaraan disadap dan doktrin-doktrin mulai ditekankan serta pelarangan berbagai itu dan ini, yang akhirnya membuat mereka berpindah ke sebelah barat, dan sangat jelas akan berdampak dengan jalannya roda ekonomi.

 

Kota Berlin kemudian menjadi pintu keluar dan terjadi eksodus yang hingga mencapai 3 juta orang, mereka bagaikan air yang terpancar. Hanya dalam satu bulan saja antara Juli-Agustus 1961 hampir ratusan ribu orang menyeberangi perbatasan dan pemerintah Jerman Timur kemudian memperketat alur pemberian izin untuk pergi keluar. Dibuat pos-pos penjagaan secara ketat dan exit permit kemudian dibatasi dan dipersulit serta tidak lagi diumbar. Akhirnya pada tanggal 12 Agustus datang perintah dari Khrushchev di Soviet untuk menutup pintu serta membuat barikade, dan dalam tempo dua minggu kemudian berdiri tembok pembatas sepanjang 150 kilometer yang berputar dan melingkar.

 

Tembok setinggi 3,5 meter dilengkapi dengan 300 pos penjagaan yang penuh dengan kawat duri, ranjau dan bunker. Di bagian Berlin Barat tembok bisa dicapai dengan mudah dan dihiasi dengan berbagai grafiti indah dengan kata-kata yang menghibur supaya orang-orang lebih bersabar. Sedang di bagian lain dari tembok, tampak tanah yang kosong dengan mobil-mobil tentara yang sepanjang waktu hilir mudik di jalanan yang lebar. Lampu sorot yang senantiasa memantau tembok ketika malam telah tiba, dan perintah tembak ditempat diberlakukan jika ada yang mencoba-coba untuk menyeberangi pagar.

 

 

Kota Berlin Barat walaupun berada di tengah-tengah negara Jerman Timur tetapi masih mudah untuk dikunjungi dengan akses jalan udara, sungai ataupun darat. Ada tiga maskapai penerbangan milik sekutu yang bisa melintasi, sedang jalur kereta dan kapal harus melewati pemeriksaan yang sangat ketat. Ribuan orang telah mencoba untuk menyeberang dengan berbagai cara dan ratusan korban mati tertembak ketika melompati pagar yang berkawat. Ada yang mencoba dengan balon terbang, menggali terowongan di bawah tembok atau menabrakkan mobil yang dikendarai dengan cepat.

 

Di ujung 1980an, pengaruh Uni Soviet terhadap negara-negara satelit di Eropah timur sudah mulai melemah akibat krisis ekonomi yang tidak kunjung bisa diatasi. Pergolakan di Polandia yang bisa mengalahkan partai Komunis dibawah pimpinan Lech Walesa menjadi pencetus yang semakin menjadi-jadi. Terbukanya perbatasan Hungaria dan Austria akhirnya membuat banyak orang-orang Jerman Timur yang melalui jalur ini untuk melarikan diri. Krisis kepemimpinan yang ditandai dengan mundurnya kepala negara Erich Honecker juga membuat kesemrawutan semakin tidak bisa terkendali.

 

Pada tanggal 9 November 1989, ketua partai dan juru bicara Politbiro, Günter Schabowski mengumumkan tentang rencana perubahan ijin keluar masuk bagi para pengungsi. Tetapi dia tidak ikut serta saat pembahasan, padahal ada klausul pembatasan lain yang kemudian belakangan mengikuti. Ketika menjawab pertanyaan seorang reporter, dia agak sedikit kagok karena sebenarnya tidak begitu memahami. Sehingga keluar pernyataan kalau pembukaan perbatasan berlaku segera, sekarang juga dan saat ini.

 

Jumpa pers yang diliput oleh banyak media ini kemudian disiarkan secara nasional dan menyebabkan ratusan ribu orang Berlin Timur berbondong-bondong mendatangi pos penjagaan. Ada 3 checkpoint resmi di antara batas kota yang semakin ramai didatangi, sedang di pihak bagian barat juga sudah ramai orang untuk menyambut kedatangan. Para penjaga menjadi kewalahan karena tidak jelas pesan dan aturan sebab belum turun surat perintah yang seharusnya mulai berlaku setelah lewat tengah malam. Satu jam menjelang tengah malam, tembok Berlin dipanjat dari kedua belah sisi dan terdengar dentuman pahat dan palu untuk mulai meruntuhkan.

 

Dengan runtuhnya tembok Berlin akhirnya menjadi pintu pembuka bagi kedua belah Jerman untuk kembali bersatu. Bagian-bagian tembok dengan berbagai coretan grafiti yang indah masih bisa disaksikan di museum-museum yang menyimpan sebagai bagian dari sejarah masa lalu. Dari 43 km tembok yang benar-benar membelah kota Berlin hanya sedikit kerangka-kerangka besi yang tertinggal di lokasi yang terdahulu. Walaupun Berlin Barat selama beberapa puluh tahun terkungkung oleh tembok tinggi, tetapi keberadaannya memberikan secercah harapan untuk terbebas dari belenggu dan bagaikan bahtera di tengah lautan musuh.

 

B. Uster Kadrisson, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Leave a Comment
Share
Published by
Kahfi SNN