Menghitung Dana Haji
satunusantaranews - Jakarta. Penundaan keberangkatan jamaah haji Indonesia pada musim haji 2020M atau 1441H memberi dampak pada membesarnya dana haji yang dimilik setiap calon jamaah yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hal ini disebabkan setoran biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) Rp25 juta dimanfaatkan atau dioptimalisasi selama masa tunggu keberangkatan haji. Untuk setiap provinsi, masa tunggu atau lamanya antrian berbeda-beda.
Yang paling lama menunggu hingga keberangkatan adalah Sul-Sel selama 39 tahun, Sul-Bar 30 tahun, Kal-Sel 29 tahun, NTB 26 tahun, Aceh, Bengkulu, dan Ja-Tim masing-masing 24 tahun, Ja-Bar 20 tahun dan DKI 19 tahun. Calon jamaah haji (Calhaj) yang menunggu dalam hitungan belasan tahun antara lain dari provinsi Sul-Ut, Gorontalo, dan Maluku masing-masing selama 11 tahun, Sum-Ut 15 tahun, Sum-Sel dan Lampung 16 tahun, serta NTT dan Kal-Teng 17 tahun. Berdasarkan perbedaan lama antrian ini, jumlah dana haji yang kurang disetor oleh calhaj sebenarnya berbeda satu sama lain. Bahkan di beberapa provinsi calhaj berhak mendapat nilai lebih atas optimalisasi dananya yang dikelola oleh BPKH. Dalam bahasa yang lain, BPKH berkewajiban menyerahkan sejumlah uang kepada calhaj berdasarkan hasil manfaat dari dananya sendiri. Dana ini tidak termasuk biaya hidup yang biasa diterima calhaj di Makkah sebesar SAR1500.
Merujuk pada sejumlah sumber, termasuk Kepres No. 6/2020 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441m/2020H, besarnya BPIH berdasarkan embarkasi masing-masing wilayah berbeda satu sama lain. Maka persoalan dana yang masih harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji juga berbeda-beda. Untuk Sul-Sel, misalnya, dengan lama antrian 39 tahun, maka dengan optimalisasi 5 persen pertahun dari setoran Rp25juta, setiap calhaj memperoleh manfaatnya sebesar Rp48,75juta. Alhasil setiap calhaj dari Sul-Sel saat menjelang hari keberangkatannya ke tanah suci sudah mempunyai dana Rp73,75juta. Jika merujuk pada Kepres No.6/2020 dengan Bipih Rp38.352.602, maka seorang calhaj Sul-Sel harus setor Rp13.352.602.
Perintah membayar atas kekurangan Bipih sebenarnya malah membuat calhaj Sul-Sel mempunyai dana Rp25 juta ditambah Rp48,75 juta ditambah Rp13,35 juta sehingga jumlahnya menjadi Rp87.102.602. Jumlah ini masih di atas besaran Bipih untuk Petugas Haji Daerah dan Pembimbing Haji yang menurut diktum ke enam Kepres No.6/2020 untuk embarkasi Makassar sebesar Rp72.291.168. Alhasil, setiap calhaj dari Sul-Sel sesungguhnya tidak disubsidi. BPKH malah harus memberikan hak calhaj yang bersangkutan Rp14.811.434 ditambah SAR1500 walaupun calhaj Sul-Sel membayar Bipih Rp72,291juta, bukan Rp38,352juta.
Hal seperti di atas terjadi juga pada calhaj dari Sul-Bar, Kal-Sel, dan Kal-Tim. Seorang calhaj dari Sul-Bar dengan mengantri selama 30 tahun wajib menerima hasil manfaat setoran dana hajinya Rp3.561.434 dan SAR1500. Juga calhaj dari Kal-Sel dengan menunggu keberangkatan selama 29 tahun, sesungguhnya membayar Bipih Rp70.866.168 sehingga yang bersangkutan masih harus menerima hasil manfaat dananya Rp2.311.434 ditambah SAR1500. Untuk calhaj Kal-Tim, hak yang harus diterima sebesar Rp1.297.043,00. Hal yang sama terjadi pada calhaj khusus dengan masa tunggu rata-rata 15 tahun. Dengan menyetor USD4000 kemudian dioptimalisasi selama 15 tahun yang pertahunnya bermanfaat 1,5 persen, maka hasilnya USD900. Jika yang bersangkutan menambah setoran USD4000, maka calhaj khusus menerima hasil manfaat dananya. Atau yang wajib disetor lagi bersih adalah USD3100, bukan USD4000.
Tetapi tidak semua calhaj provinsi yang lain sebenarnya membayar lebih Bipih. Semua calhaj dari provinsi selain Sul-Sel, Sul-Bar, Kal-Sel dan Kal-Tim mendapat subsidi yang beragam walaupun setoran haji sudah dimanfaatkan. Calhaj dari provinsi Sul-Ut, misalnya, setelah memenuhi kewajiban Bipih di embarkasi Makassar, memperoleh subsidi Rp21.014.391 (30,02persen), atau hanya membayar sebanyak 69,98 persen. Provinsi Maluku dan Gorontalo dengan masa tunggu 11 tahun juga memperoleh subsidi masing-masing sebesar Rp20.188.566 atau disubsidi 27,93 persen.
Calhaj dari DKI Jakarta memperoleh subsidi Rp10,188 juta (14,83 persen) dengan Bipih embarkasi sebesar Rp68.711.168. Subsidi terkecil diterima oleh NTB sebesar 2,02 persen, sementara Bengkulu mendapat subsidi 3,34 persen, Jatim 5,51 persen, dan provinsi Aceh memperoleh 6,02 persen.
Dari perhitungan tersebut di atas, maka muncul masalah, berapa sebenarnya dana haji saat diserahterimakan dari Kementerian Agama kepada BPKH pada 2018. Hal ini menjadi pedoman untuk menghitung banyaknya jumlah calhaj yang sudah menyetor sekaligus mengkalkulasi pemanfaatannya. Sisi lain pendaftaran baru calhaj yang juga terbuka untuk mereka yang berusia di bawah usia 18 tahun menunjukkan hasil pemanfaatan dana haji pada suatu ketika akan tidak mencukupi membiayai ongkos haji yang sebenarnya. Dalam bahasa yang lain, penetapan Bipih yang berbeda jauh dengan Bipih yang sesungguhny (at cost) akan melahirkan masalah besar di kemudian hari. Tapi ini pun menggambarkan penetapan manfaat dana haji pertahunnya untuk tiap calon jamaah haji harus diperhitungkan dengan akurat sehingga amanah pengelolaan dana haji yang memenuhi syarat syari’ah, efektif, efisien, transparan dan akuntabel terpenuhi.
Jika uraian di atas menunjukkan peranan BPKH sebagai fund manager yang tidak pusing bagaimana memobilisasi dana, maka BPKH terhadap Kementerian Agama sebenarnya cuma kasir. Tidak jelas bagaimana BPKH berkonsep menerapkan prinsip kehati-hatian pada perencanaan dan penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan Kementerian Agama. Saat yang sama dengan mengelola Rp135T, BPKH juga harus mengalkulasi pendaftaran baru. Makin banyak jamaah yang mendaftar perjalanan haji, makin lama antrian, dan makin besar dana yang dihimpun. Dampaknya, makin banyak pihak yang tertarik akan gemuknya dana haji dan makin tinggi risikonya. Dengan memperhitungkan biaya penyelenggaraan haji yang didasarkan atas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan riyal Arab, maka makin tinggi risiko pasarnya. Ini berarti nilai pemanfaatan dana haji harus berada di atas penurunan nilai rupiah terhadap dua mata asing itu dan inflasi.
Jika pada musim haji kali ini keberangkatannya ditunda hingga musim yang akan datang, maka BPKH bukan hanya wajib menyediakan dana dua kali lipat dari biaya penyelenggaraan haji yang sesungguhnya (re-rata Rp70 juta perjiwa). Selain wajib memberikan nilai lebih atas pemanfaatan dana setoran dan hasil pemanfaatan, maka BPKH perlu menata perhitungan optimalisasi setiap calhaj reguler dan khusus (nama, tanggal dan jumlah setoran, besaran manfaat). Pendayagunaanya pun harus merujuk pada amanah pemilik dana. Sebab tanpa persetujuan pemilik dana, prinsip syariah tak terpenuhi apalagi biaya pemanfaatannya tidak jelas. Di saat penundaan keberangkatan ini berlangsung, maka BPKH, Kementerian Agama, dan kalangan swasta penyelenggara perjalanan haji serta kalangan ahli perlu duduk bersama. Tujuannya agar umat Islam tidak dijadikan obyek politik dan bisnis semata sementara sikap keagamaannya dicurigai sebagai perilaku yang tidak toleran dan penyebab disharmonis sosial.
Jakarta, 21 Jun 20.
Sumber: akuratnews.com
Komentar