satunusantaranews, Jakarta – Berkaitan dengan rencana pemerintah untuk melakukan impor beras satu juta ton dalam menghadapi hari raya idul Fitri 2021 akhirnya menimbulkan polemik. Sebelum isu ini ramai dikritisi banyak pihak, Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin telah memberikan peringatan secara tertulis kepada awak media pada waktu 07,11,dan 17 Maret 2021.
Pada keterangan tersebut, ada beberapa poin yang ingin disampaikan oleh senator muda asal Bengkulu dalam hal mengatasi masalah impor beras di Indonesia, termasuk mendorong Bulog membeli langsung gabah dari petani, upaya signifikan yang harus dilakukan pemerintah dalam mempengaruhi produktifitas petani dalam meningkatkan beras nasional, hingga mendorong agar Badan Pangan Nasional segera dibentuk.
Karena masalah impor ini menjadi polemik dan masih menjadi isu hangat di laman-laman media hingga berpuncak pada statemen Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi yang siap mundur dari jabatannya. Pada Senin (22/03), Sultan B Najamudin melalui keterangan resminya kembali memberikan tanggapan.
“Jika memang benar seperti dugaan atau tuduhan banyak pihak bahwa impor pangan hanya berorientasi pada kepentingan kartel, maka hal ini sungguh patut disesalkan, dan ini sangat merugikan petani serta kepentingan nasional. Padahal di dalam negeri terdapat potensi kenaikan produksi padi pada masa panen mendatang tahun ini”, ujar pria yang akrab dipanggil SBN ini.
Potensi produksi padi pada subround Januari–April 2021 diperkirakan sebesar 25,37 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebanyak 5,37 juta ton atau 26,88 persen dibandingkan subround yang sama pada 2020 yang sebesar 19,99 juta ton GKG.
Berdasarkan asumsi tersebut dan output dari program food estate dibeberapa daerah, Kementan memperkirakan terjadi kenaikan produksi gabah kering giling sebesar 5,37 juta ton dibandingkan triwulan pertama 2020 yang hanya 19,99 juta ton GKG.
“Disatu sisi Presiden berjuang meningkatkan produksi komoditas pangan dalam negeri melalui program nasional food estate yang mulai menunjukkan hasil positif, tapi disatu sisi lain pekerjaan-pekerjaan menteri untuk impor terlihat sangat kontradiktif”, tambahnya.
Mengenai impor beras, mantan wakil Gubernur Provinsi Bengkulu tersebut “membela” Menteri Perdagangan. Ia tetap khusnudzon bahwa kebijakan impor ini memang hanya bentuk kelalaian merumuskan landasan kebijakan dalam kajian akademik.
“Mudah-mudahan mengenai impor beras ini hanya bentuk kegagalan kementerian dalam merumuskan kebijakan, bukan karena titipan dari kartel atau lingkaran oligarki kekuasaan. Tetapi jika seandainya tentang apa yang dituduhkan benar, maka Presiden harus segera memutus mata rantai kepentingan mereka dengan sikap yang tegas untuk membatasi impor terhadap barang-barang kebutuhan yang bisa dipenuhi di dalam negeri”, tandasnya.
Selain itu butuh komitmen bersama antara pemerintah serta penegak hukum dalam membongkar aksi mafia impor, lanjut Sultan. Tanpa komitmen yang kuat, siapapun menteri yang ditunjuk akan tetap sulit melawan dorongan impor dari kekuatan oligarki yang berlindung dibalik kekuasaan.
Adapun dalam agenda rapat kerja antara Komisi VI DPR dan Kementerian Perdagangan (22/03) terhadap pembahasan RUU tentang Persetujuan Kemitraan Ekonomi Kreatif Indonesia dengan Negara-Negara EFTA. Di akhir rapat para anggota komisi VI DPR menanyakan wacana impor beras tersebut.
Muhammad Lutfi yang hadir bersama Wakil Menteri Perdagangan itu mengungkapkan bahwa keputusan impor beras itu telah diputuskan pemerintah dalam rapat kabinet sebelum dirinya dilantik pada 23 Desember 2020.
Leave a Comment